Lihat ke Halaman Asli

Jarik Gendong Bayi

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13523626041987813903

"Sudah malam bu, berhenti dulu menjahitnya" Kata pak Sardi berbisik di samping istrinya. "Tanggung pak, tinggal menjahit keliling jarik ini saja kok, sudah selesai" Jawab Bu Sardi. Di sebelahnya tersusun rapi lipatan beberapa popok bayi dan kain bedong hasil jahitannya sejak beberapa bulan ini. Ia tersenyum bahagia membayangkan besok akan ke kota  Surabaya menjenguk cucu pertamanya. Anaknya  Satrio putra kebanggaannya. Dilipatnya papan mesin jahit tua itu. Warisan ibunya yang sangat berarti dan menjadi harta termahal dalam hidup bu Sardi. Sembari membentangkan jarik gendong bayi, ia berkata. " Pak, cucumu  wajahnya seperti siapa ya kira - kira? Aku sudah tidak sabar ingin memeluknya, menggendongnya dan menimangnya. Pak, jarik ini sudah kucuci  dan ku sterika tapi tadi kujahit lagi tepinya agar kuat untuk menggendong" kata bu Sardi sambil menciumi jarik gendong yang telah selesai dijahitnya itu. " Sabar toh bu, besok kita sama - sama menjenguk dan sekalian menjemputnya dari rumah sakit. Jangan lupa boneka percamu nanti ketinggalan" Jawab pak Sardi. Keesokan harinya kedua orangtua Satrio menuju kota dengan naik  kereta ekonomi. Tiba di stasiun mereka segera menumpang becak menuju rumah sakit. " Rina, syukurlah nduk, kamu melahirkan dengan lancar. Ibu dan bapak  juga ikut mendoakan kamu. Waduh cucuku ganteng sekali.  Bapak...sini lihat wajahnya, persis Satrio ketika masih bayi ya " Kata bu Sardi  terharu dan bahagia. Bu Sardi dan suaminya menyalami menantunya.  Tetapi Rina tampaknya tidak terlalu bergembira dengan kedatangan kedua mertuanya dari kampung itu.Rupanya ia malu melihat penampilan lusuh kedua mertuanya itu. Satrio sedang  menyelesaikan administrasi rumah sakit. Ia belum melihat bapak dan ibunya datang. Ibu Satrio segera mengeluarkan gendong bayi yang dibawanya dari kampung, hasil jahitannya semalam. " Untuk apa bu bawa - bawa jarik dan popok segala?" Kata Rina saat bu Sardi membentangkan Jarik dan beberapa popok bayi  itu di hadapannya. "Lho, ya untuk nggendong putuku toh  nduk, katanya hari ini boleh pulang?" " Tidak perlu, tidak usah repot - repot menggendong. Saya sudah beli kereta bayi bu, harganya mahal itu. Lagipula nanti kalau kebiasaan digendong saya yang repot. Apa ibu mau anakku rewel setelah ibu pulang ke desa karena kebiasaan digendong? Popoknya bawa pulang sajalah, nanti juga saya pakai pampers jadi praktis tidak perlu mencuci popok, ribet" jawab Rina ketus. Pak Sardi yang sejak  tadi hanya sibuk menimang cucunya tiba tiba mukanya merah. Ia tahu pasti bu Sardi sangat sedih mendengar ucapan Rina. " Yo wes Bu, nanti saja jika sudah di rumah ibu boleh menggendong putumu sepuasnya. Sekarang biar cucu  kita ditidurkan di kereta dorong" Kata pak Sardi menengahi. "Tidak pak, saya juga tidak akan biasakan anakku digendong jarik. Kebiasaan nanti sulit tidur jika tidak digendong" sahut Rina tanpa basa basi. Airmata bu Sardi mengambang dipelupuk matanya. Duh Satrio, mengapa istrimu tega sekali sama ibumu nak, ibu hanya ingin menyambut cucu pulang dari rumah sakit dan menggendongmu seperti ketika kamu baru lahir dulu. Hangat dalam dekapan ibumu. Apakah aku salah nak? Perlahan - lahan bu Sardi keluar dari ruang bersalin, pamit hendak ke kamar mandi. Tetapi rupanya Bu Sardi menangis sesenggukan di ujung koridor ruang bersalin. Pak Sardi tidak mau memperkeruh suasana. Ia tahu bu Sardi pasti tidak ke kamar mandi. disusulnya sang istri yang tampak menunduk di ujung koridor ruang bersalin itu. Ia menarik nafas panjang dan memeluk pundak bu Sardi dengan lembut. " Sudahlah bu, mungkin cara berpikir anak - anak kita jauh sudah modern berbeda dengan jamannya kita di desa. Kita tidak usah sakit hati, kita terima saja kenyataan ini. Ayo antar cucumu pulang ke rumah. Itu Satrio sudah datang. Jangan sampai dia tahu kamu menangis" Pak Sardi mengusap airmata istrinya dengan lembut. Bu Sardi ternyata bukan hanya harus menguatkan hatinya karena sambutan Rina terhadap jarik gendongnya yang kuno. Ketika Satrio datang rupanya beriringan dengan besannya. Orangtua Rina. Ia langsung merasa minder melihat hadiah di tangan bu Dinar  besannya itu. Sebuah boneka Beruang  berwarna biru yang besar dan berbulu halus tentunya. Kedua besan itu bersalaman walau tampaknya hanya basa - basi saja. Mereka masuk mobil dan sang cucu berada di dalam pelukan ibunya Rina.Rupanya kedua besannya itu sudah menyiapkan nama untuk cucunya itu, dengan nama  belakangnya keluarga Hadiwijaya. Nama suami bu Dinar Bu Sardi menunduk sepanjang perjalanan. Dalam ketegarannya demi cinta pada sang cucu. ia berusaha tersenyum dan berdoa agar cucunya tahu betapa ia mencintai kehadirannya dan ingin ikut memberikan tanda cinta. Terbayang ia akan hari - hari yang dilaluinya selama menunggu kelahiran cucu pertamanya. Menjahit  jarik, meyulam sendiri  motif popok bayi untuk cucunya, menjahitkan jarik dan membuat boneka perca untuk oleh - oleh cucu pertamanya itu. Tetapi, ternyata semua impian kebahagiaan menyambut cucu pertamanya itu pupus sudah.

13523624891419046882

" Bapak, kita pulang sudah sore" kata bu Sardi. " Lho, tidak jadi menginap toh bu" Tanya pak Sardi. Ia seolah -olah tidak mempermasalahkan kejadian tadi di rumah sakit. Kendati  sebenarnya ia tahu isi hati istrinya yang sangat halus  itu. " Ya pak, kita pulang sore ini, gantian dengan bu Dinar, nanti kapan kapan kita ke sini lagi" jawab bu Sardi dengan senyum  lembut. Dengan hati hati bu Sardi mencium cucunya dan diusapnya kepala bayi itu penuh perasaan. Ia berdoa agar cucunya kelak berhati mulia dan tumbuh menjadi anak yang berbakti pada orangtua dan agama. Satrio mengantar orangtuanya ke stasiun. Mereka berpelukan dan ibunya melambaikan tangan dari jendela kereta api. Sementara itu  tangan kirinya mendekap dua boneka perca berbentuk anak kucing dan jarik gendong  bayi.

1352362743289160587

Pak Sardi memeluk erat pundak istrinya. Ia berbisik. " Bu, terimakasih ibu telah menjadi eyang yang sabar dan bijaksana hari ini demi sang cucu dan  menghadapi menantu. Bapak semakin mencintaimu selamanya. Bapak kagum dengan ibu. Kita doakan agar Rina dapat berubah sifatnya yang kurang baik perlahan lahan ya bu" '" Ya pak, aku juga semakin mencintaimu, anak adalah titipan Allah, begitu pula cucuku. Kita sama - sama saling mengingatkan ya pak, terlebih jika aku keliru berusaha menjadi eyang yang baik untuk anak Satrio dan semoga aku lebih sabar menjadi mertua untuk istri Satrio anak kita satu - satunya. Tangan mereka saling menggenggam erat, sepanjang perjalanan kereta menuju Madiun, mereka  saling bercerita mengenang kisah kelahiran Satrio tigapuluh tahun yang silam, putra tunggal mereka. Ah indahnya menjadi sabar dan bijaksana diusia senja. Salam hangat Bersama Bidan Romana Tari

( NB: Karya foto sudah diolah digital secara sederhana dipengaturan exposure,contrast  dan fill light dengan edit di ACDSee 10 photo manager )

Bagi kompasianer yang mau ikutan WPC dan melihat karya-karya lainnya silahkan klik tautan dibawah ini :

klik ke WPC

http://edukasi.kompasiana.com/2012/02/07/cinta-seorang-mertua-pada-menantu-433541.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline