Lihat ke Halaman Asli

Kala Jaring Tak Lagi Bisa Ditebar

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

KALA JARING TAK DAPAT LAGI DITEBAR

‘’Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudra, angin bertiup layar terkembang ombak berdebur di tepi pantai pemuda b'rani bangkit sekarang, ke laut kita beramai-ramai,’

Sepenggal lagu yang berjudul Nenek Moyangku Seorang Pelaut itu, seakan mengajak kita menyelami dan memahami lebih jauh, bahwa Indonesia sebagai bangsa bahari seharusnya menjadikan sektor kelautan menjadi arus utama penggerak perekonomian nasional. Namun sayangnya, bangsa yang dua per tiga wilayahnya merupakan lautan ini, terus terlelap dan terlena oleh paradigma pembangunan nasional yang berorientasi daratan. Padahal, nilai potensi dan kekayaan sumber daya alam yang terkandung di sektor kelautan dan perikanan diproyeksikan mencapai 171 miliar dollar per tahun. Sungguh nominal fantastis bukan...........

Ironi memang,  bangsa yang memiliki sejarah panjang sebagai negara bahari, namun sektor kelautan pun terpinggirkan. 69 tahun lamanya, bangsa ini telah terlepas dari cengkraman para penjajah, namun pembangunan bidang kelautan belum menjadi arus utama dan prioritas dalam pembangunan nasional, belum ada keseimbangan pembangunan antara matra darat, dan matra laut, selain itu juga masterplan percepatan pembangunan kelautan yang ditetapkan juga belum mencirikan negara kepulauan. Maka tak salah jika kontribusi dari seluruh sektor ekonomi kelautan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia baru mencapai 22 persen.

Masih rendahnya kontribusi sektor kelautan, lantaran masih minimnya kebijakan publik, infrastruktur, dan sumber daya finansial. Sebut saja , yang belakangan ini ramai diperbincangkan publik. Riuh rendah suara publik menyambut penetapan  kebijakan pengendalian BBM bersubsidi, lantaran persediaan premium dan solar bersubsidi yang ada sangat terbatas.

Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah nasib 2,7 jiwa nelayan kecil dimana 95,6 persennya merupakan nelayan tradisonal yang sangat tergantung pasokan solar bersubsidi.........?????

Yaaaa seperti diketahui, Pemerintah telah menerbitkan kebijakan pengendalian BBM bersubsidi dikarenakan persediaan premium dan solar bersubsidi yang ada sangat terbatas. BPH MIGAS telah mengeluarkan Surat Edaran No. 937/07/Ka.BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014 perihal Pengendalian Konsumsi BBM Tertentu Tahun 2014. Diantaranya, BBM jenis minyak solar (Gas Oil) dikurangi 20 persen di lembaga penyaluran nelayan(SPBB/SPBN/SPDN/APMS).

Terbitnya aturan mengenai pengurangan kuota serta adanya pembatasan waktu operasional penjualan BBM, mengakibatkan nelayan-nelayan kecil gagal melaut, padahal pembatasan solar bersubisdi sama saja dengan membatasi kehidupan nelayan dalam mencari nafkah....

Tengok saja, belum lama aturan pengendalian BBM bersubsidi itu terbit, kondisi nelayan kian memprihatinkan. Seperti yang terjadi di daerah Jawa Barat, para nelayan tradisional melakukan unjuk rasa ke SPDN yang berada di sekitar pelabuhan. Para pejuang ketahanan pangan itu, menumpahkan kekecewaan dengan membanting jirigen kosong yang lantaran tak terisi solar. Belum lagi antrian yang mengular para nelayan dengan kapal berkapasitas 30 GT harus mengantre berhari-hari untuk mendapatkan solar. Kapal ukuran 60 GT pun sama sekali tidak bisa bergerak. Padahal penggunaan bahan bakar untuk nelayan belum pernah melebihi kuota.

Mereka (red.nelayan) pun kecewa dengan kebijakan pengendalian BBM bersubsidi yang dianggap semakin mempersulit mata pencaharian mereka. Terlebih, harga kebutuhan pokok yang terus meningkat membuat mereka semakit terjerat hutang lantaran tidak punya penghasilan akibat tidak melaut. Tak salah jika mereka (red nelayan) bak memakan buah simalakama, pasalnya selain tidak bisa melaut, mereka pun harus terjerat hutang dengan para rentenir sekedar untuk menambal perut mereka.

Sebagai gambaran,  Saat ini nelayan Indonesia hanya memiliki 3000 kapal 30-100 Gross Ton (GT) dan  sisanya merupakan nelayan kecil yang menggunakan sekitar 400.000 kapal di bawah 30 GT.  Sementara itu, kuota 2,2 juta kiloliter (KL) solar bersubsidi 2013 yang belum bisa memenuhi kebutuhan nelayan kecil, justru tahun ini dikurangi hingga menjadi 1,8 juta KL.

Di sisi lain, langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam memperjuangkan kebutuhan solar bersubsidi bagi nelayan patut diapresiasi. KKP yang berdiri sejak tahun 1999 itu, berada di garda terdepan dalam memperjuangkan kehidupan nelayan. Ketika     aturan pengendalian bbm itu mencuat untuk pertama kalinya, KKP secara tegas menyuarakan kepentingan para nelayan.

Langkah cepat pun diambil Kementerian yang dinahkodai oleh Sharif C.Sutardjo. KKP telah bersinergi dengan stakeholder terkait, seperti Kementerian ESDM, BPH MIGAS, serta Pertamina.  “Kita telah mengagendakan rapat hingga tiga kali guna memperjuangkan nasib nelayan dalam mendapatkan jatah solar bersubsidi,” begitulah perkataan Menteri Kelautan dan Perikanan yang dikutip dari siaran persnya.

Selain itu, KKP juga meminta kepada Pemda Provinsi/Kab/Kota untuk mempertajam penerima tepat sasaran melalui identifikasi nelayan berdasarkan kapal dan trip penangkapan.   Kementerian yang baru berdiri sejak tahun 1999 itu, secara konsisten terus memperjuangkan nasib nelayan untuk mendapatkan jatah solar bersubsidi agar tetap dapat melaut dan asap dapur mengepul. Untuk merealisasikan hal tersebut, KKP telah bersinergi dengan stakeholder terkait, seperti Kementerian ESDM, BPH MIGAS, serta Pertamina. KKP meminta BPH MIGAS untuk konsisten terhadap pengurangan BBM subsidi untuk nelayan sebesar 4,17%, proporsional dengan penurunan nasional.

Jika diibaratkan, nasib para nelayan sama dengan para petani. Sebagai masyarakat kelas menengah ke bawah, nelayan dan  petani masih mendapat subsidi pupuk dan benih. Karena itu, subsidi yang paling tepat untuk nelayan adalah BBM bersubsidi. Padahal, Institusi yang berlambangkan kepala ikan itu hanya mendapatkan anggaran cuma Rp 6 triliun.

Kepedulian KKP dalam membantu meningkatkan taraf kesejahteraan nelayan terus dilakukan. Di antaranya melalui program Peningkatan Kehidupan Nelayan (PKN). Hingga 2014, pemerintah menargetkan akan membenahi sebanyak 2.834 desa pesisir. Di mana, salah satu lokasi program PKN adalah Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Glagah di Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Program PKN ditujukan untuk meningkatkan wirausaha dan pendapatan nelayan. Dengan kelompok sasaran rumah tangga miskin (RTS) nelayan di wilayah berbasis Pelabuhan Perikanan (PP)/Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI).

Program PKN akan menyisir rumah tangga miskin nelayan pada 816 PP/PPI. Pada 2011 lalu, sebanyak 100 unit PP/PPI dan pada 2012 sebanyak 400 unit PP/PPI menjadi fokus pelaksanaan program PKN. Terdiri atas 1.426 desa dengan 112.037 rumah tangga sasaran nelayan tidak mampu.

Program PKN, ditujukan untuk tiga kriteria penerima bantuan. Pertama, individu nelayan akan mendapat bantuan berupa seperti sertifkat hak atas tanah, peralatan sistem rantai dingin, rumah sangat murah, listrik murah, bantuan operasional sekolah (BOS), dan beasiswa anak nelayan serta pelatihan basic safety training, dan layanan kesehatan.

Kriteria kedua, kelompok nelayan dengan jenis bantuan berupa penyediaan kapal penangkap ikan ukuran 10 gross tonnage (GT), 15 GT, dan 30 GT. Kelompok ini juga bisa menerima bantuan berupa Pemberdayaan Usaha Masyarakat Pesisir (PUMP) perikanan tangkap, PUMP pengolahan, PUMP perikanan budi daya, PUGAR, konversi bahan bakar minya (BBM) ke gas, serta pendampingan kelompok dan usaha rumput laut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline