Lihat ke Halaman Asli

Dua Puncak Lawu yang Terlupakan

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14093894791866638695

Mendengar kabar bahwa jalur pendakian Gunung Lawu tertutup untuk umum seakan tak percaya karena beberapa jam sebelumnya saya melakukan perjalanan ke Hargo Tiling (ada yang menyebut Hargo Dumiling/Diling) dan Hargo Puruso (ada yang menyebut Puncak Tower), dua puncak Lawu yang jarang dijamah oleh para pendaki. Tetapi tidak ada sangkut-pautnya kebakaran di jalur pendakian Gunung Lawu dengan tulisan ini walau sebenarnya bisa juga nulis reportase karena di base camp Hargo Dalem sekitar pukul sepuluh malam sudah ada laporan terjadi kebakaran kecil di pos 5 jalur Cemoro Sewu dan sempat pula melihat asap yang tak begitu membahayakan di sekitar Sendang Derajat di pagi hari saat mengambil air yang ternyata mengecewakan. Mendekati kering.

Hasrat untuk melakukan yang berbeda memang jauh-jauh harisudah menjadi angan-angan yang sulit ditahan. Segila-gilanya orang jatuh cinta ke Gunung, lama-lama akan terucap pula kata bosan bila yang dituju itu-itu saja terkecuali mereka yang profesional. Itu-itu saja yang saya maksud adalah puncak tertinggi Gunung Lawu, yaitu Hargo Dumilah (3265mdpl).

14093895771297087106

Puncak ini seakan menjadi destinasi akhir para pemburu Lawu padahal masih ada dua puncak lagi yang tampak jelas bisa dilihat dari puncak Hargo Dumilah. Bisa jadi pendaki sudah merasa puas di puncak tertinggi dan mengesampingkan yang di bawahnya atau memang Hargo Dumilah destinasi terindah dibanding dua puncak yang lain? Keduanya benar adanya. Dua puncak yang saya sebut di atas hanyalah hamparan tanah seukuran tak lebih dari lapangan voli tetapi dari dua puncakinilah kita bisa melihat ratusan orang melakukan upacara bendera dan di belakang kita terlihat savana luas yang kalau beruntung bisa melihat kijang melepas dahaga di cekungan yang tergenang karena hujan. Dan dari dua puncak ini pula saya melihat jalur yang telah saya lewati, yaitu Jalur pendakian Candi Cetho– Candi Kethek.

14093896791829795555

Jalur pendakian Candi Cetho memang tidak seramai jalur Cemoro Sewu-Cemoro Kandang bahkan cenderungsepi untuk ukuran hari kemerdekaan yang lazimnya selalu ramai. Dengan harga tiket hanya Rp 3.000 yang sebenarnya adalah tiket masuk Candi Cetho tentu kita bisa menebak jumlah pendaki tiap harinya. Menurut teori, harga cenderung naik bila permintaan bertambah berlaku pula untuk tiket masuk. BandingkandenganHTM Rp 10.000 untuk jalur Cemoro Sewu atau HTM Rp 6.000 untuk jalur Cemoro Kandang. Dan jangan bandingkan dengan HTM TNBTS. Nggak level.

Tepat pukul 10.30 saya (dan 1 teman) memulai pendakian yang secara kebetulan berbarengan dengan rombongan 8 orang dengan keril lengkapyang menawarkan diri untuk bergabung. Mereka adalah “KIJANG LAWU” penggiat alam lokal dari Kabupaten Karang Anyar. Untuk ukuran pertama kali melewati jalur ini tentu dengan senang hati saya menerimanya namun sayang belum sampai Pos 1 mereka sudah tercerai-berai karena stamina yang berbeda-beda tentunya. Jalur ini memang tak mengenal toleransi, seakan-akan istikomah pada sudut 45 derajat dengan jalur sempit bergambut yang hampir seluruhnya tertutup rumput liar dan di kanan-kiri daun bergerigi siap membuat gatal tangan atau kaki yang tak terlindungi ditambah pohon-pohon yang bertumbangan bekas dari kebakaran sebelumnya yang selalu menghalangi jalan. Jadi wajar kalau semakin banyak anggota semakin butuh kesabaran untuk selalu bersama.

1409389749689378044



Dua jam waktu tempuh sampai di Pos 2 menyisakan dua personil Kijang Lawu yang masih menemani saya sekaligus mempersilakan saya untuk melanjutkan lebih dulu. Saya memang butuh perhitungan waktu karena ketiadaan tenda artinya saya harus beradu cepat dengan pendaki-pendaki lain dari jalur yang berbeda. Saya yakin di atas jam 6 sudah tak ada tempat tersisa untuk pendaki nontenda dikaitkan dengan Upacara Bendera esoknya. Sempat pula saya bertemu dengan rombongan yang mengaku dari Klaten. Dengan bahasa gurauan iseng saya tanya tentang vandalisme KLA-X di Gunung Fujiyama. Mereka pasrah dengan menjawab bijak: begitulah karena nila setitik rusak susu sebelanga.Dan itulah rombongan terakhir yang saya jumpai di jalur ini selebihnya sepi-sepi saja tak seorang pun saya jumpai. Pos-pos yang saya lewati rata-rata hanya terbuat dari ranting-ranting kayu yang ditata membentuk bangunan ala kadarnya dengan ditutup plastik bekas spanduk sekedar untuk tujuan pokok tempat berteduh atau tempat ‘nge-camp’ karena permukaan tanah yang lebih rata.

Harus diakui jalur ini secara visual memang sangat menarik karena sepanjang perjalanan sampai pos 4 yang memakan waktu kurang lebih 4,5 jam yang kita jumpai hanyalah kerimbunan hutan yang heterogen dan separo dari perjalanan,cahaya matahari sulit untuk menembus jalan setapak yang saya lewati karena dedaunandari pohon besar menutupi cahaya yang masuk. Dan ketika memulai Pos terpanjang, yaitu pos 4 menuju pos 5, rerimbunan sudah mulai berkurang namun tetap tak mengurangi keindahannya apalagi ditambah jelaga yang masih menempel di hampir semua pohon cemarabekas sisa kebakaran lalu menambah kesan kontras hitam dan hijau.

14093898231393395157

Pukul 03.30 saya telah sampai di Pos 5 namanya keren, Bulak Peperangan. Savana luas ini konon adalah tempat peperangan antara Majapahit dan Demak. Masih dua jam lagi untuk bisa sampai di Hargo Dalem tempat terbaik untuk melepas lelah. Dan dengan sisa sisa tenaga saya terus berjalan melewati Sendang Menjangan, Pasar Setan dan berakhir di Hargo Dalem untuk melanjutkan keesokan harinya.

1409390015213307417



Sudah menjadi kebiasaan bagi para penggiat alam untuk merayakan hari kemerdekaan di puncak gunung. Dan hampir semua gunung selalu ramai dikunjungi para pendaki untuk mengibarkan bendera. Mulai dari bendera yang hanya ukuran standard sampai ukuran raksasa seperti di gunung Arjuno, namun dari awal niat saya hanya ingin menyaksikan Upacara Kemerdekaan dari puncak yang lain. Itulah sebabnya pagi-pagi sekali saya sudah mempersiapkan diri untuk mendaki ke puncak yang sangat sepi yang jarang dikunjungi para pendaki. Sebenarnya jalur ke dua puncak tersebut tidaklah terlalu ekstrim. Rute jalan pun masih terlihat jelas, tidak seperti yang dihembuskan oleh beberapa teman yang katanya jalur angker, sulit ditembus bahkan jarang yang kembali dengan selamat. Memang benar di dua puncak tersebut terdapat pepunden atau semacam petilasan tetapi jejak peradaban masih terlihat jelas apalagi ditambah dengan sayup-sayup terdengar suara aba-aba dari puncak sebelah, kesan mistis praktis tidak ada.

1409390067117059254



Justru saat saya melongok ke bawah, dari atas puncak Hargo Tiling terlihat beberapa tenda yang lokasinya terasa asing karena tak ada jalan setapak di kiri kanan tenda. Dengan rasa penasaran saya memberanikan diri untuk turun karena saya yakin di tempat yang akan saya tuju nanti pastilah akan ada informasi yang tak pernah saya tahu. Namun dugaan saya salah, mereka cenderung pelit bicara kecuali hanya memberi info bahwa tempat “nge-camp” mereka adalah rumah mereka, bukan jalur umum. Jalur buntu menurut mereka. Terpaksa saya harus sabar mengorek info dari mereka karena tak mungkin lagi untuk kembali ke jalur awal yang mesti menguras tenaga karena harus mendaki ke puncak Hargo Tiling kembali.

Pada akhirnya saya tahu ternyata mereka yang berjumlah 24 orang dari berbagai usia mulai dari yang termuda 14 tahun sampai yang tertua 72 tahun sudah terbiasa melakukan ritual secara rombongan. Bekal mereka di luar kewajaran untuk seorang pendaki. Sangat lengkap dan berlebih. Tapi menjadi maklum ketika saya tahu mereka akan berhari-hari di “rumah”. Satu info yang berharga dari mereka adalah mata air Sendang Macan. Sejujurnya bukan air yang membuat berharga tapi nama Sendang Macan itu yang membuat saya tertarik. Dan satu lagi kabar buruk dari mereka bahwa untuk kembali ke jalur harus balik lagi melewati Hargo Tiling kecuali kalau mau nekat bisa saja menyeberangi bukit karena dari balik bukit tersebut akan terlihat jalur Candi Ceto. Dan secara sepihak saya memutuskan untuk ke Sendang Macan dengan pertimbangan kalau toh harus kembali minimal saya sudah tahu tentang Sendang Macan yang selama ini hanya tahu di peta pendakian.

Di luar perkiraan, jalur setapak yang terlihat hanya berkisar puluhan meter selebihnya adalah rumput-rumput liar yang bukan saja menutupi jalur tetapi jalur itu sendiri sudah tumbuh rumput lebat yang sama tingginya dengan di sebelahnya. Padahal menurut mereka butuh waktu satu jam untuk sampai Sendang Macan. Karena saya yakin lokasinya di dasar lembah tentu tidak salah kalau jalan yang harus saya lalui harus turun dan turun. Trek yang terus menurun ditambah jalur buta membuat saya harus berhati-hati kalau tidak mau berguling-guling sampai dasar lembah. Teman saya mengingatkan bahwa sudah sejam lebih tapi belum sampai juga ke dasar lembah bahkan setengah memaksa untuk membatalkan saja dengan alasan belum pernah tahu bentuk maupun lokasi Sendang Macan. Bahwa lokasinya di dasar lembah itu hanya perkiraan saya saja. Entah karena saya mencari-cari pembenaran ataukah sudah sangat lelah, saya setuju untuk tak melanjutkannya.

Secara spontan teman saya berinisiatif untuk tidak kembali ke jalur awal tapi lebih memilih nekad dengan membelah bukit. Saya mengikuti saja dengan harapan lebih cepat menyeberangi bukit dibanding harus naik lagi ke “rumah” mereka ditambah naik lagi ke Hargo Tiling. Kalau mereka menyebut nekad mungkin ada benarnya karena yang terjadi tidak seperti yang terlihat dari jauh. Harus sabar jika di depan kita ternyata jurang yang tak mungkin di lewati dan mengharuskan memilih : kembali berputar atau terus menanjak dengan harapan jurang di puncak punggungan bisa di lewati. Pada situasi seperti ini yang paling diharapkan adalah bertemu orang dan harapan itu menjadi kenyataan satu jam kemudian. Memang hanya terlihat dari kejauhan tapi kepastian akan jalur sudah di genggam. Dan lebih menggembirakan lagi ternyata dari balik Sendang Macan saya sudah bisa melihat Pos Bulak Peperangan. Artinya kami telah kembali dengan selamat sebagaimana motto para pendaki : Bukan puncak gunung tujuan kami mendaki tapi pulang dengan selamat adalah tujuan akhir kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline