Jakarta, 22 November 2024 -- Mahasiswa Universitas Mercu Buana, Fakultas Ilmu Komunikasi, mengunjungi Klenteng Toasebio di kawasan Pecinan Glodok, Jakarta Barat, sebagai bagian dari studi lapangan mata kuliah 'Komunikasi Antarbudaya'. Kegiatan ini dipandu oleh dosen mata kuliah, Ibu Rossa Hilderiah, dan dilaksanakan dalam rangka program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Anggota kelompok yang terlibat dalam kunjungan ini adalah Riandini Aureli Azzahra, Aqlima Arifa, Nur Fitriani Puspita Sari, dan Fabian Okvaliant. Tujuannya adalah mempelajari interaksi budaya yang terjadi antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat lokal di kawasan tersebut.
Sejarah Singkat Klenteng Toasebio
Klenteng Toasebio memiliki sejarah panjang yang terkait erat dengan kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Menurut Koh Andre, pemandu lokal, nama "Toasebio" berarti pesan kebajikan. Klenteng ini menjadi pusat kebajikan sejak didirikan ratusan tahun lalu. Namun, sejarahnya juga mencatat tragedi kerusuhan besar pada 17 April 1740, yang dikenal sebagai Tragedi Kali Angke. Peristiwa tersebut terjadi akibat ketegangan sosial yang dipicu kebijakan pajak kolonial Belanda yang tidak adil. Meskipun sempat mengalami kerusakan akibat kerusuhan, Klenteng Toasebio tetap menjadi salah satu tempat ibadah yang paling dihormati oleh masyarakat Tionghoa dan lokal di kawasan Pecinan. Hingga kini, klenteng ini menjadi simbol keteguhan budaya Tionghoa di tengah keberagaman Indonesia.
Lokasi dan Wujud Akulturasi Budaya
Berada di kawasan strategis dekat pasar dan aliran sungai, Klenteng Toasebio mencerminkan tradisi masyarakat Tionghoa yang memilih lokasi mudah diakses untuk tempat ibadah mereka. Koh Andre menjelaskan bahwa Glodok dulunya memiliki kanal-kanal seperti Venesia, yang menjadi pusat aktivitas perdagangan dan interaksi budaya. Klenteng ini juga menunjukkan wujud akulturasi melalui penghormatan kepada tokoh-tokoh lintas budaya, seperti Eyang Surya Kencana, seorang tokoh Islam dari Jawa Barat.
Toleransi sebagai Dasar Keharmonisan
Mahasiswa yang hadir mengamati bagaimana masyarakat Tionghoa dan lokal hidup berdampingan dengan saling menghormati tradisi masing-masing. Klenteng Toasebio menjadi bukti nyata bahwa toleransi mampu menciptakan harmoni di tengah keberagaman budaya. Sebagai wujud penghormatan antaragama, klenteng ini juga menghormati tokoh seperti Gus Dur yang dikenal sebagai simbol pluralisme di Indonesia. Pembelajaran Komunikasi Antarbudaya
Melalui kunjungan ini, mahasiswa memperoleh wawasan langsung tentang bagaimana akulturasi budaya terjadi di masyarakat. Mereka menyaksikan bahwa keberagaman dapat menjadi kekuatan jika dilandasi rasa saling menghormati. Studi lapangan ini juga membantu mahasiswa memahami konsep komunikasi antarbudaya dalam praktik nyata, sebagaimana diajarkan di kelas oleh Ibu Rosmawaty Hilderiah .P, Dr, S.Sos.,MT .
Program MBKM yang diterapkan Universitas Mercu Buana memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar langsung dari masyarakat, memperluas wawasan, dan memperdalam pemahaman mereka tentang keberagaman budaya Indonesia. Klenteng Toasebio menjadi salah satu contoh nyata bahwa perbedaan budaya bukanlah penghalang, melainkan aset yang harus dijaga bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H