Dalam kitabnya yaitu kimiya'us sa'adah,
Kesempurnaan manusia tercapai jika cinta kepada Allah memenuhi dan menguasai hatinya. Seandainya cinta kepada Allah tidak sepenuhnya menguasai hati, setidaknya ia menjadi perasaan paling dominan, mengatasi kecintaannya kepada selain Dia. Tentu saja, kita sulit mencapai tingkatan cinta kepada Allah. Mereka mengartikan cinta kepada Allah hanya sebatas ketaatan kepada-Nya. Seluruh muslim sepakat bahwa mereka wajib mencintai Allah, sebagaimana Doa yang diajarkan oleh Nabi saw. kepada para sahabatnya: "Ya Allah, berilah aku kecintaan kepada-Mu dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu, dan segala yang membaw aku lebih dekat kepada cinta-Mu. Jadikanlah cinta-Mu lebih berharga bagiku daripada air dingin bagi orang yang kehausan."
Adapun fakor-faktor yang membangkitkan cinta kepada Allah yaitu:
Faktor pertama adalah bahwa manusia selalu mencintai dirinya dan kesempurnaan sifatnya. Ini mengantarkannya langsung mennuju cinta kepada Allah, karena keberadaan manusia dan sifat-sifatnya tak lain adalah anugerah Allah.
Faktor kedua adalah cinta manusia kepada pendukungnya, dan sesungguhnya yang senantiasa mendukung dan membantu manusia hanyalah Allah. Sebab, kebaikan apapun yang diterimanya dari sesama manusia pada hakikatnya disebabkan oleh dorongan langsung dari Allah.
Faktor ketiga adalah perenungan terhadap sifat-sifat Allah, kekuasaan, dan kebijakan-Nya. Kekuasaan dan kebijakan manusia hanyalah cerminan paling lemah dari kebijakan dan kekuasaan-Nya. Cinta seperti ini mirip dengan cinta kita kepada orang orang besar di masa lampau, seperti Imam Malik dan Imam Syafi'i meski kita tak pernah berharap mendapat keuntungan dari mereka. Inilah cinta yang tanpa pamrih.
Faktor keempat adalah adanya "kemiripan" antara manusia dan Allah. Inilah makna sabda Nabi saw.: "Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya." Dan dalam sebuah hadis qudsi Allah berfirman: "Hamba-Ku mendekat kepada-Ku sehingga Aku menjadikannya sahabat-Ku. Lantas, Aku menjadi telinganya, matanya, dan lidahnya." Dan Allah berfirman kepada Musa as.: "Aku sakit tetapi engkau tidak menjengukku!" Musa menjawab, "Ya Allah, Engkau adalah penguasa langit dan bumi, bagaimana mungkin Engkau sakit?" Allah berfirman, "Salah seorang hamba-Ku sakit. Dengan menjenguknya berarti kau telah mengunjungi-Ku."
Meski demikian, kemiripan antara manusia dan Allah menjawab keberatan teolog Zahiriah yang
berpendapat bahwa manusia tidak bisa mencintai wujud yang bukan dari spesiesnya sendiri. Betapa pun jauh jarak yang memisahkan keduanya, manusia bisa mencintai Allah karena kemiripan yang diisyaratkan dalam sabda Nabi: "Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya."
"Orang yang hatinya telah dikuasai cinta kepada Allah tentu akan menghirup lebih banyak kebahagiaan dari penampakan-Nya dibanding orang yang hatinya tidak didominasi cinta kepada-Nya. Keadaan keduanya seperti dua orang yang sama-sama bermata tajam melihat wajah yang cantik. Orang yang mencintai pemilik wajah itu akan lebih berbahagia saat menatapnya ketimbang orang yang tidak mencintainya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H