Lihat ke Halaman Asli

Jangan Golput! Kenali Caleg Kita!

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1396849136660863930

[caption id="attachment_330529" align="aligncenter" width="300" caption="Golput Bukan Pilihan (sumber foto: http://media.viva.co.id/)"][/caption]

Masa kampanye sudah berakhir. Masa tenang sudah dimulai. Lusa sudah waktunya kita berbondong-bondong ke TPS. Salurkan suara. Ikut partisipasi dalam hajatan 5 tahunan, karena 5 tahun sekali kita, warga biasa, baru berkesempatan berpartisipasi langsung mengambil keputusan penting untuk hari depan negeri ini.

Karena begitulah logika demokrasi modern. Tiap kali pemilu kita pilih siapa yang kita serahi mandat untuk memimpin negeri. Jika “salah pilih” dan menghasilkan pemimpin yang ternyata tak kompeten, maka kita mesti menunggu sampai pemilu berikutnya untuk memilih orang lain. Karena itu, pemilu sebenarnya bukan hal “sepele” dan mesti kita pikirkan betul-betul, mesti kita seriusi kepada siapa suara kita hendak kita berikan. Memang butuh upaya untuk mengenali partai atau caleg yang bersih, baik, kompeten, atau antikorupsi. Namun upaya ini pastinya cukup berharga untuk dilakukan.

Banyak survei, banyak penelitian, meramalkan angkat golput tahun ini bakal tinggi, bahkan lebih tinggi daripada pemilu lima tahun lalu. Apa ini berarti baik? Apa ini berarti rakyat “tidak bisa lagi dibohongi” dengan jargon-jargon kampanye yang manis di mulut lain di hati? Saya pikir, justru keliru kalau tingginya golput kita anggap “baik-baik saja”, bahkan kita romantisasi sebagai kedewasaan rakyat yang tak mempan lagi janji-janji kosong.

Tentu saja, kecenderungan untuk golput bisa dimaklumi, karena toh efek dari satu suara kita takkan terasa apa-apa dibandingkan seratus juta lebih suara pemilih dalam hajatan tahun ini. Namun jika kita mau berpikir lebih jauh ke depan, tentunya keengganan untuk bersuara semacam itu amat disayangkan. Mengapa fenomena ini patut disayangkan, bahkan dijadikan keprihatinan? Sebabnya ada beberapa.

Pertama, rendahnya antusiasme dan tingginya apatisme terhadap pemilu menunjukkan logika berdemokrasi yang sudah saya katakan tadi sebenarnya belum benar-benar berjalan. Karena logika ini belum benar-benar dihayati, selalu ada kemungkinan sportivitas kita dalam berpolitik dan bernegara pun tidak terbangun dengan baik. Sikap tak sportif ini sudah berkali-kali kita lihat. Sejak pilkada pertama digelar tahun 2004, sudah berkali-kali kita melihat sengketa di sana-sini. Siapa pun yang menang, pihak yang kalah nyaris selalu mengajukan gugatan, bahkan mengerahkan massa untuk mendelegitimasi hasil pemilihan kepala daerah. Demonstrasi di mana-mana, konflik, bahkan bentrok. Dan di beberapa daerah, sengketa hasil pilkada bahkan bisa berlarut-larut, hingga pemerintahan dan pelayanan publik pun jalan tersendat-sendat.

Kedua, jika ternyata golput menjadi suara mayoritas, selalu muncul peluang untuk mempertanyakan legitimasi pemerintahan terpilih nantinya. Kenapa? Karena di era “demokrasi” sekarang ini kita nampaknya melupakan juga semangat yang kita warisi dari prinsip-prinsip musyawarah. Dulu kita diajarkan, jika di kampung ada musyawarah, apa pun hasilnya, warga yang tidak hadir dalam musyawarah tersebut sudah seharusnya menerima keputusan yang sudah diambil dan ikut melaksanakannya. Tapi apa yang terjadi sekarang?

Kita tak menyalurkan suara atau pilihan ketika pemilu, tapi kenapa kita teriak-teriak menuntut dan menggugat pemimpin terpilih ketika pemimpin itu mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan aspirasi kita? Saya pikir, secara etis seharusnya mereka yang telah memilih si A dalam pemilu saja yang berhak menggugat A ketika ia tidak menjalankan amanahnya. Atau setidaknya, mereka yang memilih orang lain pun berhak untuk ikut mengekspresikan ketidakpuasannya. Tapi mereka yang sama sekali tidak memberikan suara kepada siapa-siapa, sudah sepatutnya tutup mulut. Dan karena pemilu itu didasari asas rahasia, maka sudah sepatutnya dalam soal ini masing-masing dari kita “tahu diri”. Jika kita golput, ya sudah; jangan banyak komentari pemerintah yang terpilih.

Tapi lagi-lagi, saya pikir sikap “sportif” dan “tahu diri” ini sedang jarang di antara kita akhir-akhir ini. Padahal jika kita mengerti dan menjalankan logika atau “aturan main” ini, nyaris pasti di setiap pemilu kita akan antusias dan menimbang masak-masak saat akan memberikan suara kita. Karena secara etis, memberikan suara saat pemilu adalah tiket kita untuk berhak “mengawasi” dan “mengkritisi” pemimpin kita.

Jika kita mau sedikit bersusah payah, tentunya bisa kita temukan caleg atau partai politik yang layak kita coblos Rabu lusa. Kita sendiri sudah tahu, kita menginginkan caleg atau partai yang baik, bersih, kompeten, dan antikorupsi. Sekarang tinggal kita sisir sumber-sumber informasi, cari tahu sebanyak-banyaknya tentang partai-partai atau caleg-caleg di dapil kita, lantas gunakan kriteria tadi untuk menyisir mana yang patut kita pilih.

Tolonglah, pembaca yang budiman, berilah suara kita warna, jangan masukkan diri kita ke dalam golongan putih. Demi negeri kita sendiri, setidaknya untuk lima tahun ke depan.

·“Bersih 2014,” http://bersih2014.net/

·“Daftar Caleg Bersih 2014,” http://politik.kompasiana.com/2014/03/24/daftar-caleg-bersih-2014-641326.html

·“Mari Beri Caleg Bersih Kesempatan untuk Tampil,” http://politik.kompasiana.com/2014/04/04/mari-beri-caleg-bersih-kesempatan-untuk-tampil-644686.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline