Lihat ke Halaman Asli

bhenu artha

universitas widya mataram

Perlu Ditinjau Ulang Kebijakan Konsolidasi BPR/BPRS dalam Satu Kepemilikan

Diperbarui: 1 Desember 2024   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Ketentuan pada Peraturan otorutas Jasa Keuangan  (POJK) Nomor  7/2024 yang antara lain memerintahkan BPR dan BPRS yang berada dalam satu kepemilikan atau pemegang saham pengendali yang sama dalam satu wilayah pulau atau kepulauan utama untuk melakukan Penggabungan atau Peleburan diminta untuk ditinjau lagi. Perintah itu dianggap melampaui kewenangan OJK karena tidak ada dasar hukum untuk perintah tersebut, di samping juga dianggap memperlakukan tidak adil pada BPR/BPRS pada satu PSP yang sama karena diwajibkan bergabung meski tidak ada masalah dalam kinerja BPR/BPRS tersebut.

              Benang merah pendapat tersebut muncul dari pakar dan praktisi lembaga keuangan mikro dalam forum  Seminar Konsolidasi dan Pengaruh Bisnis BPR tehadap UMKM  yang diadakan PT Nusantara Bona Pasogit di Hotel Discovery Ancol -- Jakarta, 28-30 November 2024. Pembicara dalam forum tersebut antara lain Direktur Utama Infobank Eko B Supriyanto, Ekonom Prof Edy Suandi Hamid, serta Presiden Direktur PT Nusantara Bona Pasogit (nbp) Hendi Apriliyanto, yang dihadiri Direksi dan Komisaris 34 BPR di bawah naungan PT NBP tersebut.

              Kebijakan yang dikenal dengan Single Present Policy (SPP) tersebut, harus sudah dijalankan dalam waktu dua tahun untuk BPR/BPRS non-BUMD, dan tiga tahun untuk yang dimiliki Pemerintah Daerah. "Tidak ada di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang memerintahkan konsolidasi bagi BPR atau BPRS. Yang ada di dalamnya hanya kewenangan perintah penggabungan atau peleburan jika BPR/BPRS  mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya," ujar Hendi Spriliyanto.

              Sementara itu Eko Supriyanto, yang menyampaikan beberapa catatannya terhadap kebijakan itu menyatakan, sering kembali kebijakan diambil tanpa didasari pengkajian yang mendalam dampaknya. Penggabungan BPR atau BPRS dalam satu kepemilikan ini, kelakar Eko,  bagaikan perkawinan sedarah, incest, dan ini potensial menimbulkan masalah. Keberadaan le,baga keuangan kecil ini sebetulnya sangat penting untuk mendukung UMKM, yang jumlahnya lebih 60% dari pelaku ekonomi Indonesia. "Namun kontribusi kredit UMKM terhadap  PDB hanya 7%, jauh lebih rendah disbanding negara lain,"  ujar Pemimpin Redaksi Infobank Media Group.

              Menurut Eko keberadaan BPR ini masih sangat diharapkan untuk mendukung UMKM di tanah air. Masalah, BPR sendiri masih mengdahapi persoalan terkait keterbatasan modal, tata Kelola,  disaparitas usaha, serta infrastruktur, dan produk serta layanannya. "Akibatnya, peran terhadap perkembangan ekonomi wilayah masih terbatas," kata Eko yang juga Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia ini.

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Kebijakan aneh

              Hal yang sama juga disampaikan Prof Edy Suandi Hamid yang juga Komisaris PT BPRS Harta Insan Karimah Mitra Cahaya Indonesia Yogyakarta. Kebijakan itu dianggap aneh dan tidak adil. "Apa dasarnya memaksakan penggabungan kepada BPR atau BPRS yang sudah berjalan baik walau kepemilikan sama? Kalau dipandang jumlah BPR atau BPRS terlalu banyak, dan menyulitkan OJK melakukan pengawasan, maka treatment bukan memaksakan penggabungan, tetapi mencari mekanisme pengawasan yang memudahkan OJK untuk melakukan fungsi itu," ujar Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta iani.

              Menurut mantan Ketua Forum Rektor Indonesia ini, kebijakan memaksakan penggabungan pada BPR/BPRS pada satu PSP merupakan sesuatu yang naif. Pemilik modal tentu punya pertimbangan ketika membuat beberapa perusahaan. "Misalnya untuk mendiversifikasi risiko. Diversifikasi usaha ini sejalan dengan teori ataupun prinsip-prinsip kehati-hatian dalam bisnis. Don't put your all eggs in one basket! Juga kekhawatiran Perusahaan terlalu besar menyebabkan span of control menjadi lebih sulit dan mengganggu kinerja usaha," ujar Edy.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline