Lihat ke Halaman Asli

bhenu artha

universitas widya mataram

Politik Biaya Tinggi Menyebabkan Ekonomi Biaya Tinggi

Diperbarui: 9 Februari 2024   16:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Biaya tinggi pada politik menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Politik biaya tinggi ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi menyebabkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) tinggi dan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi pada tingkat tertentu memerlukan biaya lebih banyak dibandingkan negara-negara lain. 

Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec. yang merupakan Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) dalam acara Kontemplasi Ekonomi Politik "Pemilu 2024 & Arah Ekonomi Ke Depan" yang diselenggarakan pada Jumat (9/2/2024) di platform daring Zoom. Acara ini diselenggarakan oleh Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (AFEB PTMA) dan dimoderatori oleh Dr. Naelati Tubastuvi, M.Si yang merupakan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah (UM) Purwokerto serta diawali dengan sambutan Prof. Dr. Rizal Yaya, M.Sc. yang merupakan Ketua AFEB PTMA. Narasumber dalam acara ini adalah Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec. yang merupakan Rektor UWM, Dr. Mukhaer Pakkanna yang merupakan Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITBAD) Jakarta 2018-2023, Prof. Dr. Nazaruddin Malik Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof. Dr. Anton Agus Setyawan Dekan FEB UM Surakarta, dan Prof. Dr. Nano Prawoto, S.E., M.Si. yang merupakan Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia UM Yogyakarta.

Lebih lanjut, Prof Edy mengemukakan bahwa jika dicermati maka kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) menjanjikan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan angka yang dimunculkan yakni rata-rata pertumbuhan 7% per tahun, yang pernah dicapai pada masa Orde Baru dan pada era Presiden Joko Widodo ada di kisaran 5% per tahun.

"Tentu angka 7% tidak mudah diwujudkan untuk jangka pendek misalnya tahun 2024 atau 2025. Bukan tidak mungkin mewujudkan pertumbuhan ekonomi tinggi seperti masa lalu. Pertama adalah potensi sumber daya alam. Indonesia masih memiliki sumber daya yang dibutuhkan global seperti nikel, bauksit, batubara, serta hasil pertanian/perkebunan seperti minya sawit, udang, kopi, dan sebagainya yang memiliki nilainya akan lebih tinggi jika diolah di dalam negeri sebelum diekspor," kata mantan Ketua Forum Rektor Indonesia ini.

"Kedua, Indonesia memiliki sumber daya manusia yang banyak, dan kini memasuki masa bonus demografi. Hal ini jika dikelola dengan baik akan menaikkan produksi dan produktivitas nasional lebih cepat," tambah mantan Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor ini.

"Harapan seperti ini logis kita munculkan walau sulit diwujudkan dalam jangka pendek. Namun demikian, usaha seperti ini, mengendalikan ekonomi biaya tinggi, meningkatkan produktivitas semua sumber daya, memberikan iklim kondusif bagi semua pelaku ekonomi, harus segera dimulai," tegas Prof Edy.

Prof. Rizal Yaya dalam sambutannya mengucapkan terimakasih kepada para narasumber dan semua yang telah menghadiri acara ini. "Terimakasih pula kepada Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan yang telah menjadi host. Diharapkan diskusi ini dapat dikembangkan terus," tambahnya.

Dr. Mukhaer Pakkanna dalam penyampaian materinya mengungkapkan bahwa Pemilu memicu ketidakpastian ekonomi. "Energi warga dikuras untuk kontestasi. Pemilu 2024 bisa menopang konsumsi domestik, termasuk spending Pemilu, tetapi hanya 4,2% dari konsumsi domestik. Mobilitas usaha kecil baik ultramikro maupun mikro meningkat dan investasi skala besar wait and see serta stagnan," ungkapnya.

Prof. Nazaruddin Malik dalam kesempatan ini menyampaikan bahwa kontestasi 2024 merupakan transisi penting menuju Indonesia Emas 2045. "Prinsip rent seeking behavior sering disebut tindakan oligarki karena perusahaan berkolusi dengan pemerintah melalui lobi-lobi kemudian mendapatkan subsidi untuk melakukan akselerasi perusahaan. Perbaikan distribusi pendapatan fungsional dicirikan oleh kenailan upah riil lebih tinggi daripada pendapatan perkapita. Post Covid-19 penciptaan lapangan kerja melemah dan informalitas melonjak," kata Prof Nazaruddin.

Prof. Anton Agus Setyawan dalam penyampaian materinya mengatakan bahwa Pemilu 2024 merupakan proses politik yang menentukan perekonomian dan secara khusus Pemilu 2024 diharapkan menghasilkan pemerintah yang tanggap dengan perubahan lanskap bisnis dan memahami posisi Indonesia dalam bisnis global. "Hilirisasi menjadi isu yang seksi dalam debat capres dan cawapres, tetapi tidak ada diskusi bagaimana hilirisasi dilakukan. Fokus hilirisasi hanya pada dua komodiats yaitu nikel dan batubara. Ketergantungan beberapa industri Indonesia terhadap impor perlu dikendalikan. Impor bahan pangan terkait dengan ketahanan pangan di Indonesia," tutup Prof Anton.

Prof. Nano Prawoto menegaskan bahwa ketiga pasangan calon (paslon) memiliki optimisme yang cukup kuat tentang pertumbuhan ekonomi. Pemilu 2024 ini menghadapi beberapa isu misalnya geopolitik, energi, pangan, perang Rusia Ukraina, dan perang di Gaza. "Di Indonesia masih harus mempertahankan acuan suku bunga Bank Indonesia di kisaran 6%. The Fed masih mempertahankan suku bunga di kisaran 5,5%. Sejak 2022 sampai akhir 2023, The Fed telah menaikkan suku bunga sebanyak 500 basis poin. Hal ini dilakukan untuk menurunkan angka inflasi 3,7% menjadi 3,2%. Harapannya di pertengahan 2024 suku bunga tidak akan naik lagi, atau bahkan mengalami penurunan," pungkasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline