Dalam antisipasinya pada infrastuktur Indonesia, pemerintah dinilai lamban dalam menanggapi masalah ini. Ina Primiana, Anggota Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebutkan bahwa, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini belum menjawab kebutuhan infrastuktur terutama pada bidang industri. Ditambahkan juga bahwa rata-rata anggaran infrastruktur yang telah dialokasikan oleh pemerintah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) baru sekitar 3% dari PDB.
Diperkirakan hingga empat tahun kedepan kemampuan pada pemerintahan Indonesia sendiri hanya mampu menangani dalam bidang infrastruktur hingga 30% saja. Persentasi yang kita miliki amat sangat jauh dengan negara-negara tetangga kita. Selain masalah pendanaan, kendala terbesar terkait pembangunan infrastruktur di Indonesia tampaknya pembebasan lahan. Proses pembebasan lahan adalah proses yang sangat rumit karena banyak pemilik tanah menolak untuk menjual tanah mereka kepada pengembang proyek infrastruktur yang menyebabkan penundaan dalam tiap proyek yang akan dikerjakan.
Sebagai suatu negara besar, tentunya infrastruktur dan fasilitas yang mumpuni sangat diperlukan untuk memudahkan segala kegiatan bermasyarakat. Terlebih lagi di era globalisasi seperti sekarang ini, dengan adanya infrastruktur yang memadai dapat membuat negara tersebut lebih maju atau sama dengan negara lain.
Namun, untuk mewujudkan itu semua diperlukan berbagai macam persiapan dan kematangan rencana agar segalanya dapat berjalan dengan lancar. Masalah yang datang saat pembangunan pun pasti akan terjadi dan pastinya akan menghambat berjalannya pengerjaan infrastuktur tersebut. Kendala ini akan selalu ada di seluruh negara termasuk Indonesia, akan tetapi cara suatu negara untuk mengatasinya yang akan membedakannya.
Dalam Global Competitiveness Report 2015-2016, yang disusun oleh lembaga World Economic Forum (WEF), Indonesia berada pada urutan ke-62 dari 140 negara dalam hal pembangunan infrastruktur. Peringkat tersebut menandakan bahwa negara tersebut hanya berada di standar rata-rata dalam pembangunan. Saat keadaan infrastruktur di sebuah negera lemah, itu berarti bahwa perekonomian negara tersebut berjalan dengan cara yang sangat tidak efisien.
Inefesiensi dari pembangunan dan kurang memadainya infrastruktur seperti pasokan listrik yang tidak pasti serta biaya transportasi yang tinggi tentunya mempengaruhi juga pada investor asing yang akan berinvestasi di Indonesia.
Dijabarkan juga oleh beberapa pihak mengenai fakta yang ditemukan yaitu kondisi jalan nasional yang kurang layak sebesar 10,64%, akses masyarakat terhadap air bersih 18,31% (Kementerian Pu-Pera, 2015), rasio elektrifikasi 88,30% (Kementerian ESDM, 2015).
Menurut saya, pemerintah Indonesia sendiri sadar betul bahwa infrastruktur yang kita miliki sudah tertinggal jauh oleh negara lain, terutama negara di kawasan Asia. Namun, pengembangan infrastruktur di Indonesia sendiri baik infrastruktur keras seperti listrik ataupun air juga infrastruktur lunak seperti pelayanan publik bukanlah tugas yang mudah.
Bangsa ini sendiri terdiri dari kurang lebih 17.000 pulau dan dikarenakan bentuk kepulauan yang kompleks ini, dibutuhkan juga pembangunan infrastruktur di bidang maritim. Saat ini, transportasi laut lebih mahal daripada transportasi darat karena infrastruktur maritim di Indonesia belum dikembangkan secara utuh. Ini juga menjelaskan mengapa meskipun Indonesia adalah kepulauan terbesar di dunia dan, dengan demikian, memiliki perairan dan laut yang luas, bisnis kita terutama di bilang laut di Indonesia masih tertinggal.
Masalah besar lainnya yang harus dihadapi Indonesia dalam pembangunan infrastruktur ini adalah bagaimana mereka menemukan dana yang diperlukan. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, total Rp 4.796 triliun yang dibutuhkan untuk memenuhi target pembangunan infrastruktur yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2019. Namun, pemerintah pusat dan daerah hanya bisa memberikan kontribusi sekitar 41% untuk pembiayaan, sementara perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) hanya dapat memberikan kontribusi hingga 22 persen. Hal ini menunjukkan bahwa 37 persen dari dana yang dibutuhkan sekitar Rp 1.752 triliun harus berasal dari sektor swasta.