Itulah judul diskusi yang akan digelar oleh Netizen untuk Negeri (N.u.N.) sore ini. Berawal dari kegelisahan atas kondisi di masyarakat pasca Pilkada D.K.I. Jakarta 2017 dan Pilpres 2019, dimana terjadi segregasi diakibatkan elaborasi isyu agama yang massif dan terstruktur. Padahal, kemenangan untuk suatu posisi jabatan di pemerintahan tentu tidak akan berguna apabila negara hancur. Pemerintah mana yang bisa berdiri tanpa negara, apalagi tanpa rakyat?
Rakyat sendiri bukan suatu yang unilateral. Bukan satu entitas yang bisa diklaim sebagai satu dan tunggal. Akan tetapi, pribadi-pribadi di dalamnya jelas beraneka. Tidak saja pada hal-hal yang natural dan alami seperti suku bangsa dan ras saja, tapi juga pilihan pendapat dan pikirannya pun beragam. Untuk itulah para pendiri bangsa kita telah menetapkan "Bhinneka Tunggal Ika" sebagai semboyan dan disematkan pada lambang negara Garuda Pancasila.
Akan tetapi, tampak jelas ada segolongan masyarakat yang merasa bahwa dirinya adalah pribadi yang terbaik dan pandangan hidup mereka paling benar. Celakanya, mereka memaksakan sikap dan pendapat mereka kepada pihak lain. Hal-hal inilah yang kerap menimbulkan friksi dan gesekan horizontal di masyarakat. Dalam beberapa kasus, bahkan cukup besar skalanya hingga menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit.
Dua isyu yang kami jadikan judul diskusi itu memang "seksi". Tak urung mantan Panglima T.N.I. Jenderal T.N.I. (Purn.) Gatot Nurmantyo beberapa hari lalu mengungkit kembali sinyalemen terkait P.K.I.
P.K.I. dan Sejarah Kelam Indonesia
Betul, P.K.I. dalam sejarah bangsa Indonesia dianggap salah karena melakukan pembunuhan sejumlah anggota T.N.I. A.D. Secara resmi, peristiwa 30 September - 1 Oktober 1965 dipandang sebagai pengkhianatan P.K.I. kepada bangsa. Kita semua tahu, tanggal 30 September diperingati sebagai "G 30 S/P.K.I." dimana warga negara diharapkan mengibarkan bendera merah-putih setengah tiang sebagai tanda berkabung atas gugurnya para "Pahlawan Revolusi". Sementara tiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai "Hari Kesaktian Pancasila", dimana kali ini bendera kebangsaan dinaikkan satu tiang penuh.
Pemerintahan Indonesia pun berganti. Dari Orde Lama ke Orde Baru. Presiden berpindah tangan dari Dr. (H.C.) Ir. Soekarno kepada Jenderal T.N.I. Soeharto.
Setelah berkuasa selama 32 tahun, pada reformasi 1998, pimpinan Orde Baru yaitu Jenderal Besar T.N.I. (Purn.) H.M. Soeharto dipaksa turun tahta. Sejak itulah, keran kebebasan informasi mulai mengalir.
Terdapat sejumlah kontra narasi atas "Peristiwa 1965" yang dilansir sejumlah pihak, termasuk sejarawan. Meskipun begitu, narasi resmi negara atas kejadian tersebut masih belum berubah dari yang ditulis oleh tim sejarawan Orde Baru yang diketuai oleh Brigjen. T.N.I. (Tit.) Prof. Dr. Nugroho Notosusanto. Memang ada adagium, "history written by the winner".