Saat kembali mencoba mulai menulis lagi di Kompasiana 4 hari lalu, saya sudah menyatakan bahwa tidak ada target yang saya tetapkan. Walau di notifikasi ada "tawaran" untuk menjadikan 5 tulisan "Head Line" lagi supaya bisa mendapatkan "centang biru", namun saya tidak ambisius mengejarnya. Sebenarnya saya terkejut karena "centang hijau" yang telah saya dapatkan dihilangkan. Usut punya usut, ternyata hal itu memang kebijakan Kompasiana. Kalau tidak salah sejak 22 Desember 2022 dihilangkan. Karena saya sudah 7 tahun tidak menulis di sini, maka saya tidak tahu kebijakan yang sudah berlaku hampir 1 tahun itu.
Sebenarnya dahulu saya sudah tahu trik agar artikel bisa cepat menjadi "Pilihan" atau "Head Line". Namun, bisa jadi ada perubahan. Dahulu pun saya memutuskan berhenti menulis di sini karena adanya sistem yang berubah. Sehingga, saya merasa diperlakukan "kurang adil". Semoga saja sekarang sudah tidak begitu.
Walau pun sebagai Kompasianer lawas yang bergabung sejak 9 Juni 2009, saya belum pernah mendapatkan penghargaan apa pun dari Kompasiana. Itu tidak masalah sama sekali. Karena sekali lagi, bukan itu yang saya kejar. Toh, saya sudah pernah 2 kali memenangkan lomba penulisan yang diadakan. Hadiahnya juga lumayan, telepon genggam. Alhamdulillahirabbil'alamiin.
Namun, karena kesibukan sehari-hari ditambah rasa kecewa waktu itu, maka saya pun kemudian absen lama dari sini. Kini, saya bak pemula lagi. Kembali belajar menulis lagi. Dan terutama, kembali mencermati sistem penilaian tulisan di Kompasiana. Walau jelas penilaian itu tidak bisa obyektif karena kurangnya data. Sehingga, jatuhnya hanya sebatas "menebak" saja.
Meskipun masih meraba, namun alhamdulillah 3 dari 5 tulisan awal saya dinilai layak sebagai "Pilihan". Ini dihitung sejak saya mulai aktif lagi di hari Kamis, 29 November 2023 lalu. Dan tidak terhitung tulisan yang sedang anda baca ini.
Tulisan pertama, wajar kalau tak masuk halaman depan. Tulisan kali ini pun juga tidak apa-apa bila tersingkir. Bahkan sebenarnya tulisan kemarin pun saya tahu kurang layak. Sebabnya, meskipun memiliki "newspeg" terkait peristiwa aktual, namun sebagian besar tulisan di situ adalah kutipan dari situs berita. Itu karena saya perlu mengutip kata per kata satu siaran pers yang dikeluarkan resmi oleh panitia. Sehingga, kadar tulisan saya hanya sedikit. Di samping itu, mungkin ada kekuatiran seolah mengistimewakan satu kelompok saja bila dua artikel tentang acara yang sama dimuat di halaman depan Kompasiana secara dua hari berurutan.
Akan tetapi, ada "anomali". Meski tulisan itu dianggap tak layak oleh redaksi atau admin Kompasiana untuk masuk sebagai "Pilihan" atau "Head Line", namun kadar keterbacaannya cukup banyak. Seperti saya tampilkan di foto tangkapan layar (screenshot) di atas, tulisan itu dibaca 142 kali. Sementara tulisan tentang acara yang sama sebelumnya dibaca 143 kali. Cuma selisih 1 saja. Dan itu sudah rekor tulisan saya yang terbanyak dibaca, dari 5 artikel awal yang dimuat. Seperti juga terlihat di foto, dua artikel resensi buku "hanya" dibaca 56 dan 70 kali. Sekarang insya Allah sudah bertambah.
Saya lantas penasaran, karena sudah lewat masa "kadaluarsa" tulisan untuk bisa tayang sebagai "Pilihan" atau "Head Line", apakah mungkin artikel tersebut masuk ke kategori "Populer"? Ternyata, tidak juga. Anehnya, artikel yang masuk kategori tersebut jumlah keterbacaannya ada yang sangat sedikit, hanya belasan saja.
Dari situ, saya mengambil kesimpulan -yang bisa saja salah- bahwa penentuan suatu artikel masuk ke posisi tertentu ("Head Line", "Topik Pilihan", atau "Terpopuler") tidaklah menggunakan algoritma pemrograman bahasa komputer, apalagi "artificial intelligence". Melainkan secara manual oleh admin situs. Jadi, admin-lah yang "menyeret" satu artikel ke satu posisi tertentu. Sementara kalau untuk posisi "Terbaru", jelas otomatis. Walau kadang harus menunggu beberapa menit dan harus refresh beberapa kali, tidak seketika.
Lantas, dari mana tulisan saya tersebut, yang dianggap "tak layak dipilih" oleh admin Kompasiana mendapatkan keterbacaan lumayan? Jawabannya: Promosi. Saya mengunggahnya di media sosial. Kemudian, oleh netizen yang bahkan saya tidak kenal, dipromosikan lagi. Kalau diklaim "viral" sih mungkin belum. Namun, minimal cukup menyebar.
Posisi pembaca yang "merasa terlibat" jelas banyak. Karena menurut hasil survei Denny J.A. yang diunggah di account media sosial resminya "Denny JA_World" pada hari Selasa (4/9/2023), "mereka yang merasa menjadi bagian dari NU pada 2023 sebesar 56,9 %".*) Ini merupakan hasil survei yang dengan metode statistik, sehingga ada bias atau deviasi. Namun, jelas bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Artinya, bila dibaca, lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia "merasa menjadi bagian dari NU".