- Judul Buku: "Tulislah! Mengembangkan Proses Kreatif Menulis: Berita, Feature, Fiksi".
- Penulis: Pepih Nugraha.
- Penerbit: Elex Media Komputindo.
- Kota Penerbitan:Jakarta
- Tahun Penerbitan: 2022.
- Jumlah halaman: 181 + x.
Bagi penulis Kompasiana.com, nama Pepih Nugraha tentunya tidak asing lagi. Apalagi bagi Kompasianer "lawas" seperti saya. Karena beliaulah pendiri dan Chief Executive Officer (COO) Kompasiana.com pertama.
Tak dinyana, karir pertama beliau justru bukan sebagai penulis. Melainkan, sebagai "sahabat"-nya penulis, yaitu pustakawan. Sebagai alumni Jurusan Ilmu Perpustakaan Universitas Padjajaran angkatan pertama, saat itu posisi pustakawan masih sangat langka. Tak heran, ia langsung sudah diterima bekerja bahkan sebelum lulus kuliah. Dan bekerjanya pun tidak main-main, di Kompas!
Setelah bekerja di Pusat Dokumentasi Kompas, rupanya Pepih menemukan kesenangan lain di luar bidang studi dan keahliannya, yaitu menulis. Pemicunya adalah tulisan opininya yang berhasil menembus Rubrik Opini di Harian Kompas. Bagi yang belum tahu, rubrik ini adalah "elite"-nya para penulis Indonesia. Setiap hari, lebih dari seratus tulisan masuk ke meja redaksi. Sementara, yang dimuat hanya 2 hingga 6 tulisan saja. Penulisnya pun para cerdik-cendekia seantero Nusantara. Keberhasilan Pepih menembus "penjaga gawang" rubrik tersebut membuatnya terpacu untuk menjadi wartawan. Dari posisi pustakawan, ia kemudian berhasil menjadi wartawan Harian Kompas dengan mengikuti Diklat yang seleksinya juga ketat. Maka, bola salju pun bergulir, hingga ia kemudian telah menulis tak kurang dari 4.400 artikel. Ia kemudian diberi tugas mendirikan Kompasiana yang kita gunakan bersama sebagai platform blog menulis ini.
Semua itu tak akan diketahui orang lain andaikata bukan Pepih sendiri yang mengungkapkannya. Ia menuliskannya di halaman 1-7 dalam buku yang ditulisnya berjudul "Tulislah! Mengembangkan Proses Kreatif Menulis: Berita, Feature, Fiksi" (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2022). Memahami penulis dan proses kreatif penulisan, sangat membantu dalam memahami sebuah tulisan. Karena di dalam suatu tulisan, termaktub juga isi pikiran, hati, dan curahan perasaan penulisnya. Dan itu tentu erat sekali dengan kehidupan yang bersangkutan.
Pepih yang gemar membaca menekankan erat dan pentingnya kesenangan dan kebiasaan membaca bagi seorang penulis. Dengan memahami latar belakang pendidikannya sebagai pustakawan, kita sudah akan langsung tahu bahwa Pepih memang sudah gemar membaca dan menulis, bahkan sejak kecil. Di bab 3 ia mengisahkan, kegemaran mengarang bebas sudah dimilikinya sejak bangku Sekolah Dasar. Dan ia sendiri mengakui, bahwa ia senang menulis "berat" bahkan saat masih siswa SD. Saat ada perlombaan menulis se-kabupaten di tahun 1977, ia sudah menulis tentang prospek satelit Palapa yang baru diluncurkan dalam menyambungkan pulau-pulau Indonesia melalui telekomunikasi (p. 24). Itu jelas luar biasa bagi seorang siswa yang masih berseragam putih-merah!
Di sisi lain, Pepih justru menganjurkan agar kita "mengarang bebas" alias "free writing" saja saat mulai menulis. Bebaskan diri dari belenggu tema dan penulis lain. Tulislah sesuai keinginan. Dengan mengutip buku "Becoming A Writer" karya Dorothea Brande yang pertama kali terbit pada 1934, disebutkan bahwa hampir semua orang dapat menulis meski semua itu membutuhkan disiplin, latihan dan kerja keras yang terkonsentrasi atau fokus. (p. 24).
Sayangnya, fokus ini jugalah yang bagi saya menjadi kelemahan buku ini. Pepih yang punya segudang pengalaman kepenulisan, tampaknya begitu banyak punya ide di kepalanya. Dan sepertinya ingin ditumpahkan semua di buku ini. Sehingga, ia menyatukan kiat menulis berita (hard news) bersama dengan artikel ringan (feature) dan fiksi di satu buku. Padahal, sebenarnya ketiga hal itu bisa jadi tiga buku terpisah. Malah bisa jadi empat buku kalau "proses kreatif menulis" juga ditulis menjadi buku tersendiri.
Agak disayangkan juga Pepih terpeleset mendewakan profesi wartawan yang pernah dijalaninya. Di sisi lain, ia merendahkan profesi blogger dan vlogger (p. 36 dan p. 69). Pepih juga menempatkan YouTuber dengan tendensi miring. (p. 29). Bahkan "pekerjaan kantoran lainnya yang lebih nyaman" pun seolah lebih rendah daripada profesi wartawan (p. 36). Cara Pepih merendahkan profesi blogger agak aneh, karena justru dia kerap membanggakan diri sebagai pendiri Kompasiana yang merupakan platform blog bersama terbesar di Indonesia. Dan jelas buku ini justru ditulis setelah ia tidak lagi menjabat sebagai COO Kompasiana.
Saya jadi teringat seorang capres yang pernah merendahkan Najwa Shihab, bahkan di acara "Mata Najwa" sendiri! Ia menyebut Najwa sebagai "MC". Sementara Najwa menukas, dirinya bukanlah "MC". Sejatinya, Najwa bukan cuma "pembawa acara televisi", dia adalah "Talk Show Host" dan "wartawan" alias "jurnalis". Di Amerika Serikat, profesi "Talk Show Host" sangat dihormati. Ada nama-nama seperti Larry King, David Letterman, Jimmy Fallon, Ellen DeGeneres, atau Oprah Winfrey yang mampu memberikan dampak sosial nyata, bahkan mengubah kebijakan pemerintah dengan acaranya. Heran sekali capres yang dipuja-puji sebagai pintar itu tidak mampu membedakan "Master of Ceremony" dengan "Talk Show Host". Dengan kebodohannya itu -di samping kecongkakannya-, sang capres merendahkan tiga profesi sekaligus: MC, Talk Show Host, dan Wartawan!
Terlepas dari itu semua, buku ini masih tetap layak jadi referensi. Terutama sekali bagi para pemula dan penulis yang memerlukan motivasi awal. Ditambah ada sedikit teori dasar bidang kepenulisan, walau tidak langkah demi langkah (step-by-step).