Lihat ke Halaman Asli

Bhayu MH

WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Idul Adha: Akidah Kuat, Toleransi Erat

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Umat Islam Indonesia pada tanggal 6 November 2011 ini merayakan Hari Raya Idul Adha 1432 H., yang jatuh pada 10 Dzulhijjah. Di Mekkah, pada saat bersamaan para jama’ah haji melaksanakan pelontaran jumrah di Mina, sebagai bagian dari pelaksanaan rukun Islam kelima yaitu berhaji bila mampu. Kemarin, tanggal 9 Djulhijjah, jama’ah haji melaksanakan wukuf secara bersamaan di Arafah. Kejadian itu merupakan rekor dunia karena tak kurang dari tiga juta orang berkemah bersama di satu tempat.

Idul Adha di sebagian besar negara Islam atau berpenduduk muslim besar justru dirayakan lebih besar daripada Idul Fitri. Hal itu wajar, karena di saat ini terjadi dua ibadah sekaligus: haji di Mekkah dan Madinah serta qurban bagi seluruh umat Islam di seluruh dunia. Sementara Idul Fitri hanya ada satu ibadah saja yaitu berzakat setelah berpuasa satu bulan penuh sebelumnya di bulan Ramadhan. Tentu saja, di samping shalat Ied di pagi hari antara waktu Shubuh dan Dhuha pada Hari Rayanya.

Sudah banyak yang menulis mengenai hikmah Idul Adha, karena itu saya hendak menyoroti dari sudut pandang yang agak berbeda. Seperti judul di atas, Idul Adha bukan hanya momentum kesalehan meniru ketakwaan Nabi Ibrahim a.s., tapi juga waktunya memperkuat akidah. Umat Islam harus mampu memahami bahwa ibadah yang diwajibkan saat Idul Adha ini bukan merupakan ajaran asli Rasulullah Muhammad SAW, melainkan warisan dari Rasulullah Ibrahim a.s. Artinya, Islam merupakan agama yang sudah eksis sejak awal adanya manusia, bahkan sejak azali. Hanya saja, mengutip Nurcholish Madjid, Islam yang telah hadir semenjak azali termasuk melalui diri Adam a.s. adalah Islam dalam arti “berserah diri”. Sementara Islam secara formal baru diresmikan dengan datangnya masa ke-Nabi-an Rasulullah Muhammad SAW.

Akidah umat Islam diperkuat karena ibadah yang dilaksanakan baik haji maupun qurban penuh makna simbolistik. Seperti diutarakan oleh Alwi Shihab (1999:101), Islam memandang dirinya sebagai bagian dari tradisi keimanan Ibrahim dan ketundukan yang total kepada Tuhan. Artinya, dengan Idul Adha umat Islam diingatkan kembali bahwa agama-agama dalam tradisi Ibrahim atau agama samawi berasal dari satu Tuhan yang sama. Meski begitu, dalam konteks Islam sebagai agama terakhir, maka umat Islam harus meyakini agamanya sebagai paripurna.

Namun, keyakinan itu tidak boleh membuat umat Islam merasa diri paling berhak atas planet ini. Nyatanya, begitu banyak keragaman manusia. Dan kita memang hidup di tengahnya. Idul Adha mengingatkan kita bahwa sejarah ibadah yang panjang sejak masa Ibrahim a.s. telah melewati perjalanan sejarah manusia yang panjang. Dan dengan memperingati teladan Sang Nabi, kita mengingat pengorbanannya berupaya menegakkan agama tauhid. Di tengah kaum musyrikin Mekkah penyembah berhala, Ibrahim a.s. yang kemudian dibantu putranya Ismail a.s. menegakkan ajaran ajaran Tuhan yang satu. Dan itulah fondasi dari agama-agama monotheisme.

[caption id="attachment_146996" align="aligncenter" width="300" caption="Toleransi beragama tercermin dari shalat Ied di depan gereja Koinonia (Foto: Bhayu MH)"][/caption]

Idul Adha juga momentum untuk mempererat toleransi. Seperti tercermin saat saya kebetulan melaksanakan shalat Ied di depan lapangan Urip Sumohardjo Jatinegara. Seperti terlihat dalam foto, karena shalat diadakan di jalan raya (dengan menutup arus lalu-lintas tentunya), maka lokasi shalat berada tepat di depan Gereja Koinonia. Toleransi semacam ini yang membuat negeri kita menjadi indah. Indonesia adalah negara ber-bhinneka tunggal ika. Kita juga harus menyadari bahwa pluralitas adalah sebuah kenyataan tak terelakkan. Oleh karena itu, toleransi pun harus erat, agar kita sebagai sesama manusia mampu memahami bahwa terdapat nilai kebenaran dalam semua agama, seraya tetap meyakini agama yang kita peluk. Kembali mengutip Nurcholish Madjid (1996: 239), “toleransi agama hanya akan tumbuh di atas dasar paham kenisbian bentuk-bentuk formal agama ini, dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengena pada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama.”

[caption id="attachment_147002" align="alignright" width="180" caption="Priyo Budi Santoso disalami jamaah usai shalat (Foto: Bhayu MH)"][/caption]

Priyo Budi Santoso yang menjadi khotib shalat Idul Adha yang saya hadiri tadi pagi juga mengingatkan adanya toleransi dalam hal pembagian daging qurban. Menurutnya, penerima tidak hanya kepada mereka yang beragama Islam.Hal ini akan makin menunjukkan Islam sebagai agama yang “rahmatan lil ‘alamiin”. Karenanya sudah seyogyanya Muslim bersikap adil terhadap siapa pun yang membutuhkan bantuan. Priyo juga mengingatkan adanya dua spirit yang diperas sebagai makna. Pertama, di dalamnya terkandung nilai musyawarah dan dialog. Menurutnya, adanya nilai musyawarah ini dapat kita saksikan dalam kisah Al-Qur'an surat Ash-Shoffat, khususnya pada pertanyaan Nabi Ibrahim kepada anaknya Nabi Ismail: "Engkau akan aku sembelih, bagaimana pendapatmu?" Dan kedua, adanya nilai untuk memupuk nilai solidaritas dengan menghormati dan mengasihi sesama. Priyo menegaskan bahwa Islam menjunjung tinggi toleransi beragama dan menghormati perbedaan. Karena itu, bagi saya, Idul Adha bukan sekedar momentum memperkuat akidah, juga mempererat toleransi.

[caption id="attachment_147001" align="alignleft" width="206" caption="Pemulung koran bekas pakai jamaah shalat Ied (Foto: Bhayu MH)"][/caption]

Di saat Idul Adha ini kita juga harus ingat nasib mereka yang kurang beruntung. Seperti halnya ibu pemungut koran bekas dalam foto di samping. Jangan sampai kita justru bermegah-megah dengan kesuksesan kita dalam hidup. Maka meski kita dianugerahi harta berlebih, maka kita harus menyisihkannya bagi mereka yang kurang beruntung. Tentu saja salah satu caranya adalah dengan berqurban sesuai kemampuan kita.

Hanya saja harus diingat, peduli pada sesama tidak boleh hanya setahun sekali atau dua kali saja (pada saat Idul Adha dan Idul Fitri), melainkan justru setiap hari. Kita harus ingat di dalam harta yang kita miliki terdapat hak orang lain.

Apa yang diperintahkan bagi umat Islam untuk dilaksanakan pada Idul Adha adalah simbolisasi. Kita harus memaknainya lebih dalam lagi pada kehidupan sehari-hari. Berqurban dan berhaji, merupakan dua simbolisasi pemaknaan ketundukan manusia kepada Tuhan sebagai penguatan akidah, sekaligus kepedulian dan toleransi pada sesama manusia.

Referensi:

Alwi Shihab. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Bandung: Mizan, 1999.

Nurcholish Madjid (editor: Agus Edi Santoso). Islam Kerakyatan dan KeIndonesiaan: Pikiran-pikiran Nurcholish ‘Muda’. Bandung: Mizan, 1996

Priyo Budi Santoso. Khutbah Idul Adha 1432 H: Idul Qurban Menebar Solidaritas dan Perdamaian. Jakarta: Panitia Hari Besar Islam Jakarta Timur, 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline