Lihat ke Halaman Asli

Bhayu MH

WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Java Jazz Festival di Mata Penonton Awam

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1299568045897716013

Saya beruntung mendapatkan tiket compliment 3-Day Pass untuk menghadiri event "Axis Jakarta International Java Jazz Festival 2011" hari Jum’at-Minggu, 4-6 Maret 2011 lalu.  Jujur saja, bagi orang seperti saya, harga tiket acara ini terbilang cukup mahal. Karena itu, sudah beberapa kali saya melewatkan menyaksikan acara ini, walau dahulu pernah menyaksikannya saat masih bertempat di Jakarta Hilton Convention Centre. Apalagi saya ini cuma penonton awam, bukan penggemar berat jazz.

Sudah sejak beberapa tahun belakangan, event ini mengambil venue di Jakarta International Expo atau arena Pekan Raya Jakarta di Kemayoran. Dari segi tempat, saya merasa tempat ini jauh lebih baik terutama bagi kenyamanan penonton. Di seluruh kawasan kompleks Gelora Bung Karno, banyak sekali preman dan calo berkeliaran. Ini membuat tidak nyaman karena pengunjung biasanya terpaksa membayar tiga kali: tiket masuk resmi, dipalak saat baru saja parkir dan dipalak lagi saat mau pulang. Memang, saat baru parkir terkadang ada petugas yang memakai seragam parkir resmi. Tapi biaya parkir yang mereka minta "nembak". Bisa Rp 5.000,00 atau malah lebih. Saya seringkali harus adu nyali dan harus ngotot karena menolak membayar. Sementara di JI-Expo, saya tidak dicegat preman berseragam petugas parkir saat baru datang maupun akan pulang. Tiket parkirnya pun nyaman karena dihitung Rp 15.000,00 sekali masuk, bukan per jam. Rasa aman juga lebih terjamin karena seluruh area parkir dipagar.

Soal penyelenggaraan acara yang sudah untuk ketujuh kalinya ini, Java Festival Production yang dikomandoi Peter F. Gontha tentu sudah memiliki banyak pengalaman. Apalagi sebelumnya ia adalah pemilik JAMZ, klub yang khusus menyajikan jazz. Jadi, kecintaannya pada jazz tak bisa diragukan. Kini, saya melihat event ini sudah menjadi kalendar tetap para pecinta jazz dunia. Hal ini terutama ditunjukkan dengan hadirnya para musisi kaliber dunia. Sebutlah ada Carlos Santana, gitaris beraliran Latin-Rock-Jazz ini adalah peraih 10 Grammy Award. Juga ada George Benson, Four Play, Roy Hargrove, Roberta Gambarini, atau Everette Harp & Bobby Lyle. Tentu masih banyak deretan nama lain, termasuk musisi papan atas Indonesia. Saya juga melihat tiap tahun kehadiran penonton "bule" makin banyak saja.

Publikasi dari media massa termasuk dari Kompas yang antara lain menjadikannya kepala berita (headline) edisi hari Minggu (6/3) kemarin membuat masyarakat makin ingin menyaksikannya. Nah, di sinilah lucunya. Saya melihat yang datang berasal dari aneka jenjang usia, walau dari segi kelas ekonomi jelas kelas menengah-atas. Ada beberapa orang kakek-nenek yang tampaknya diajak anaknya. Mereka sepertinya tidak begitu mengerti jazz yang tercermin dari wajah dan pembicaraannya. Sementara ada juga generasi yang mengalami masa remajanya di tahun 1970-an justrutampak bersemangat pindah dari satu stage ke stage lain. Ada yang malah berdandan khas ibu-ibu pejabat lengkap dengan sasak rambutnya. Mereka ini tampaknya justru penggemar berat jazz, mungkin karena kelas ekonominya. Nah masalah kelas ekonomi ini juga membuat saya terpana, ternyata orang Indonesia bisa "beradab" juga. Tertib, teratur saat antri, tidak buang sampah sembarangan, dan bicara sopan. Wah, kalau tidak melihat tulisan dan tentu saja bahasa Indonesia yang dipergunakan, mungkin saya mengira sudah di luar negeri.

Di sini saya teringat pada pernyataan sobat saya Yuswohady. Dalam suatu acara terbatas yang saya hadiri ia pernah mengemukakan bahwa untuk menjadi bangsa beradab justru kita harus mencapai taraf ekonomi tertentu. Ia menyebutnya sebagai "Customer 3.000". Artinya, di saat GNP (Gross National Product) kita mencapai angka US$ 3.000, maka akan terjadi peningkatan "peradaban" (civilization). Karena masyarakat dengan pendapatan yang meningkat jelas tak mau lagi mengadopsi gaya hidup kampungan.

Java Jazz ini, mau tak mau sudah menjadi gaya hidup (life style), simbol kesuksesan. Saya melihatnya malah seperti fenomena penggunaan handphone Nokia Communicator yang jadi trend sebelum muncul PDA dari O2 dan HP (Hewlett-Packard) serta kini BlackBerry. Dahulu, karena itu adalah handphone termahal di pasar, kelas menengah-atas yang baru (atau bisa disebut OKB: Orang Kaya Baru) kerap membelinya hanya sebagai simbol status. Anak-anak SD sampai SMA saja sampai menentengnya ke mana-mana, padahal jelas segmen pasar asli handphone pabrikan asal Finlandia itu tidak ke sana.

Sebagai bagian dari gaya hidup, tentu saja menyaksikan Java Jazz tidak semata menikmati permainan ciamik para pemusik, tapi lebih pada agar tampil asyik. Ini lantas seperti membenarkan tesis Hannah Arendt dalam esainya "The Crisis in Culture" (1961) yang menyatakan "market-driven media would lead to the displacement of culture by the dictates of entertainment." Yah, semoga ini pertanda bangsa kita sudah “on the right track” seperti kerap didengungkan pemerintah.

Beberapa foto acara Java Jazz Festival dapat dilihat di blog LifeSchool (http://www.lifeschool.wordpress.com).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline