Lihat ke Halaman Asli

Bhayu MH

WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Ada Asa Dalam Cinta - Bagian 10

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14174301761325464123

Kisah sebelumnya: (Bagian 09)

(Bagian 10)

Cinta dan Basuki terperangah begitu mereka sampai di pelataran kompleks pusat perbelanjaan, ternyata hujan sudah mulai turun, meski masih rintik-rintik. Suasana makan di restoran cepat saji yang tertutup membuat pengunjung tidak tahu kondisi di luar. Apalagi ditingkahi suara musik yang berdentam dari pengeras suara, mengalahkan gemericik air hujan di teratap. Karena itulah, mereka tidak menduga hujan akan turun. Membuat mereka kesulitan mencapai mobil Basuki yang diparkir di lapangan terbuka, hampir 100 meter jauhnya. Keduanya berpandangan, kebingungan menentukan langkah selanjutnya.

“Waduh, ujan. Gimana nih, Mas?” Cinta memandang pria di sebelahnya dengan tatapan minta keputusan.

“Ada tukang ojek payung nggak ya?” Basuki menengok ke sana-ke mari. Cinta ikut mencari-cari. Tapi hujan yang baru mulai tampaknya belum membuat anak-anak kampung sekitar yang biasanya ramai menjajakan jasa dadakan itu keluar. Mungkin mereka baru akan keluar setelah agak deras nanti.

“Mau nunggu reda atau gimana?”Basuki bertanya kepada Cinta, sementara matanya tetap mencari-cari ojek payung yang tak kunjung hadir. Cinta menatap ke arah lelaki yang sedang tidak memandangnya itu.

“Masih gerimis Mas, mau nerobos nggak?” tawarnya.

Basuki tampak agak terkejut mendengar usulan itu. Ia kini menoleh dan menatap gadis di sampingnya. “Kamu mau ujan-ujanan?”

“Nggak papa kok, masih gerimis ini. Yuk…,” Cinta mengambil langkah lebih dulu. Ia berlari kecil menuruni tangga dan menuju ke halaman parkir terbuka. Ia hafal dimana posisi parkir mobil Basuki tadi. Bisa jadi karena ia sendiri cukup sering ke tempat ini. Basuki yang masih belum kehilangan rasa terkejut tambah terkejut karena melihat Cinta sudah mendahului. Tapi karena tubuhnya lebih tinggi dan kakinya lebih panjang, ia cepat menyusul langkah Cinta.

Tepat di tepi batas antara atap dan alam terbuka, mereka berhenti sejenak. Terdengar suara bariton Basuki yang terdengar bernada melindungi, “Sebentar Cinta, pakai ini,” katanya seraya melepas jaketnya dan menudungkannya ke kepala Cinta. Gadis itu menoleh dan menerimanya sambil tersenyum. Lalu dengan bersemangat, ia pun menantang Basuki, “Ayo, kita balapan sampai mobil!” Dan bersamaan dengan berakhirnya kalimat itu, Cinta pun mulai berlari. Lagi-lagi membuat Basuki terperangah dan segera mengejarnya.

“Cinta, pelan-pelan saja. Becek. Licin. Hati-hati, nanti jatuh!” ia memperingatkan.

“Hahaha… bilang aja kalah balapan. Ayo Mas, cepetan…,” Cinta terbahak sambil terus berlari. Melompati genangan air di sana-sini dengan tidak mengurangi kecepatannya. Dengan agak tergopoh, Basuki menyusulnya.

Beberapa menit saja, mereka sudah sampai di mobil SUV Basuki. Terdengar suara alarm dan lampu yang berkedip menyala, tanda pintu dibuka. Basuki mendahulukan membukakan pintu bagi Cinta, sebelum ia sendiri berputar ke pintu sopir dan masuk ke dalam mobilnya. Sesaat, mereka masih larut dalam suasana main hujan-hujanan seperti anak keciltadi. Tawa mereka masih lepas sambil masih terengah-engah karena berlari. Basuki menstarter mobilnya dan menyalakan pendingin udara.

“Mas, jangan gede-gede AC-nya, dingin nih…,” pinta Cinta. Basuki menurutinya dan menyetel pengaturannya hingga cuma berada di angka 1.

“Aduuh, jaketnya Mas jadi basah nih… sori ya…,” kata Cinta dengan nada prihatin sambil melepas jaket Basuki yang basah kuyup.

“Ah, nggak papa, yang penting kamunya nggak kebasahan,” Basuki membantu Cinta melepaskan jaket yang menudungi kepalanya. Dan sesaat, tangan mereka bersentuhan dan mata mereka saling bertatapan. Sesaat, tapi itu sudah cukup untuk memberikan seribu arti. Cinta jengah dan menundukkan kepala. Basuki rupanya juga berperasaan sama, menutupinya dengan gerakan khas pria yang mengambil alih kendali. Ia meraih jaketnya dan melemparnya begitu saja ke jok belakang.

“Wuih, gak nyangka ya tiba-tiba ujan begini…,” Basuki mengalihkan pembicaraan.

Cinta menata perasaannya sambil menggigit bibir, masih tak berani menatap pria di sampingnya, dan memilih menatap ke luar jendela. Ia lalu menjawab lirih dengan kalimat diplomatis, “Iya… kita di dalem nggak denger gitu suara ujan…”

Sesaat, terdengar gemerisik yang ternyata Basuki mengaktifkan stereo set mobilnya. Terdengar suara penyiar bicara, membahas soal hujan yang turun dan himbauan agar pengendara berhati-hati di jalan. Lalu terdengarlah lagu “On The Floor” yang bersemangat dilantunkan Jennifer Lopez featuring Pitbull. Lagu bernuansa disko yang energik itu terasa membakar suasana sore yang hujan dan mendung itu.

“Iya… habis di dalam juga tadi musiknya rame juga sih… eh, kamu suka nggak lagu begini…?” tanya Basuki penuh perhatian. Ia menatap Cinta yang masih melihat ke luar jendela. Merasa ditatap, Cinta menoleh sepintas dan mendapati mata Basuki yang penuh perhatian sedang menatapnya. Untuk kesekian kalinya Cinta jengah, dan ia pun kembali membuang pandangan ke luar sambil berkata ringan, “Ah, aku sih apa aja masuk…”

“Oh ya? Termasuk dangdut?”

Cinta tergelak sesaat. Menyadari Basuki tengah menggodanya. Dan ia memutuskan menggoda balik dengan menantang Basuki, “Kenapa nggak? Mas Bas emang suka gitu sama dangdut…? Berani kalau disuruh joget dangdut kayak di tivi?”

Basuki tertawa renyah sambil menggelengkan kepala. “No comment ah… nanti dimuat pula di majalahmu…”

Mendengar jawaban sok ngartis itu, Cinta gemas dan refleks ditinjunya bahu Basuki, “Uuuuh, belagu!”

Keduanya sama-sama terkejut dengan reaksi spontan Cinta itu. Mereka sama-sama tahu, bahwa bila seorang wanita memukul dan mencubit pria, maka berarti di hatinya ada perasaan simpati yang terasa.

Cinta segera menarik tangannya dan menggigiti bibirnya, benaknya merutuki kebodohannya terbawa suasana hujan yang memang romantis. Sementara Basuki menatap lurus ke depan, dan mulai menjalankan mobilnya keluar area parkir menuju gerbang keluar. Kembali ke kantor mereka.

Perjalanan yang seharusnya cuma 10-15 menit jadi lebih lama karena hujan. Mereka memang harus memutar cukup jauh dari pusat perbelanjaan satu-satunya di kawasan Kuningan itu untuk bisa kembali ke kantor. Dan ternyata, begitu mendekati area kantornya, genangan air sudah mulai meninggi. Untunglah mobil Basuki jenis SUV jeep yang tinggi, sehingga tidak masalah melibas banjir. Tentu saja selama banjirnya tidak lebih tinggi daripada knalpot yang bisa menyebabkan mesin mati.

Mereka berdua terdiam sepanjang perjalanan. Menikmati alunan musik yang bergantian dengan suara penyiar diselingi sesekali iklan di radio. Rupanya masing-masing sedang bergelut dengan perasaannya. Cinta semula hendak menghubungi teman-temannya dengan smartphone, tetapi ia merasa tindakan itu tidak sopan. Karena ia seolah memperlakukan pemilik mobil sebagai sopir apabila ia melakukan tindakan selfish itu.

Sesampainya di kantor, Basuki bersikeras menurunkan Cinta di pintu kantor, membuatnya seolah seperti nyonya yang diantarkan supirnya. Ia berdalih tak ingin Cinta kehujanan. Padahal Cinta sama sekali tidak ingin membuat Basuki seperti supirnya. Ia ingin ikut sampai ke tempat parkir. Tapi Cinta akhirnya terpaksa mengalah karena mobil Basuki yang berhenti cukup lama mengundang klakson dari mobil di belakang mereka. Dan sebagai kompensasi kesopan-santunan, Cinta tidak langsung masuk ke kantornya, melainkan menunggu Basuki di lobby kantor.

Beberapa menit kemudian, barulah Basuki memasuki lobby kantor dengan berlari. Ia memakai kembali jaketnya yang tadi ditudungkannya ke kepala Cinta. Jaket itu menjadi lebih basah kuyup sekarang, demikian pula dengan celana dan sepatunya. Basuki tampak sumringah begitu memasuki lobby kantor, karena secara alami, manusia memang senang bermain hujan-hujanan.

Tapi air mukanya berubah menjadi bingung saat melihat Cinta masih berada di lobby. Ia pun spontan bertanya, “Cinta, kok belum masuk?”

Yang ditanya menjawab ramah sambil membantu Basuki melepaskan jaketnya yang basah kuyup. “Masih nunggu…”

“Nunggu siapa?”

“Mas Bas…”

Jawaban itu membuat Basuki terlongo. Ia membiarkan saja Cinta mengambil jaketnya. Gadis itu lalu memanggil salah satu OB dan menyerahkan jaket milik Basuki itu seraya berpesan agar dikeringkan. Di kantor majalah mode itu memang terdapat fasilitas seperti binatu kecil untuk membersihkan pakaian yang dipinjam untuk pemotretan. Sehingga, ada pula alat semacam mesin uap panas untuk mengeringkan pakaian, dan pastinya ada seterika. OB itu mendengarkan dengan patuh dan membawa jaket Basuki pergi. Cinta lalu menggamit lengan Basuki dan mengajaknya menuju tangga.

“Ayo, kita naik tangga aja, biar anget,” ajak Cinta. Basuki pun menurutinya. Mereka bersama-sama naik ke lantai atas. Cinta berhenti di lantai 3, sementara Basuki meneruskan ke lantai 4. Kantor mereka sebenarnya di lantai yang sama, hanya saja Basuki mengatakan masih ada keperluan lain. Sehingga mereka mengucapkan perpisahan di tangga.

******

Sekitar setengah jam kemudian, urusan Basuki di lantai 4 selesai. Ia pun kembali ke lantai 3 tempat ruangannya berada. Sesampainya kembali di ruangan kantornya, Basuki menghela nafas. Pekerjaan untuk minggu ini sudah selesai. Ia tinggal mempersiapkan bahan-bahan untuk rapat pimpinan hari Senin nanti. Ia menyalakan laptop, sambil menunggu booting, tangannya menekan tombol remote control yang menyalakan televisi layar datar di seberang dindingnya. Pria itu mencari saluran berita sore, mengamati situasi lalu-lintas yang terekam. Seperti biasa, kalau hujan cukup lama, jalanan Jakarta akan banjir. Dan akibatnya bisa diduga, macet di mana-mana. Basuki masih sibuk memikirkan akan pergi kemana dia membuang waktu. Buat apa pulang cepat-cepat, toh di apartemennya tak ada yang menunggu. Daripada terjebak macet di jalan, Basuki lebih suka pergi ke suatu tempat sendirian. Ya, sendirian. Basuki memang tipe pria penyendiri. Bisa jadi itu pula yang membuat karirnya melesat cepat. Ia adalah Pemimpin Redaksi termuda di seluruh group media tempatnya bekerja. Bisa jadi dahulunya karena ia seringkali lembur dan menyelesaikan dateline lebih awal. Sehingga kepercayaan dari para atasan tumbuh dengan subur. Dan di sinilah dia sekarang, posisi tertinggi di redaksi suatu media: Pemimpin Redaksi.

Tok-tok-tok…

Tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Basuki menoleh. Ia melihat ke arah pintu kaca, dan ia cukup terkejut melihat siapa yang ada di baliknya. Dengan isyarat tangan, ia mempersilahkan orang di balik pintu untuk masuk. Dengan mendorong pintu, masuklah Cinta dengan membawa dua cangkir kopi mengepul panas di tangannya.

“Udah nggak sibuk kan?” tanya Cinta.

“Udah santai… tinggal kirim ke percetakan kok…,” jawab Basuki.

“Nih, ada anget-anget…,” Cinta meletakkan satu cangkir yang dibawanya ke hadapan Basuki. Sementara satu lagi tetap dipegangnya.

“Eh, apaan nih?”

“Kopi jahe, semoga Mas suka…”

“Wah, suka banget. Pas ujan-ujan gini… enak banget. Makasih ya…”

“Iya… sama-sama. Aku yang makasih buat tadi. Semoga Mas nggak jadi sakit gara-gara ujan-ujanan.”

“Yaelah… masa’ segitu doang sakit? Cemen amat sih gua?”

Hahaha… terdengar tawa dari mulut mereka berdua. Cinta pun kemudian duduk dan mengobrol ngalor-ngidul dengan Basuki. Melanjutkan kembali canda-tawa mereka saat late lunch tadi. Mereka asyik berbincang hingga tiba-tiba suara dering nada lagu berkumandang lantang. Menyeruak di tengah perbincangan kedua insan yang tengah asyik bercengkerama.

(Bersambung besok)

Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu

Untuk membaca kisah di bagian lain, daftar lengkapnya dapat mengklik tautan:

Ada Asa Dalam Cinta (Sinopsis & Tautan Kisah Lengkap)

———————————————————————

Foto: Antono Purnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)

Grafis: Bhayu MH




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline