Lihat ke Halaman Asli

Bhayu MH

WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Bukan Benci Polri atau Jokowi, Cuma Anti Korupsi

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1421304221340988580

[caption id="attachment_390934" align="aligncenter" width="528" caption="Demo Relawan Salam 2 Jari (Foto: Captured Shot BeritaSatu TV)"][/caption]

Pagi hingga siang tadi relawan “Salam 2 Jari” menggelar aksi dukungan di gedung KPK. Dalam wawancaranya dengan BeritaSatu TV, Olga Lydia sebagai Koordinator Aksi intinya menyatakan bahwa mereka adalah pendukung Jokowi, tetapi juga harus mengkritisi Jokowi. Mereka percaya kepada kredibilitas KPK selaku lembaga penegak hukum, sehingga ketika seseorang sudah ditetapkan menjadi tersangka, maka keputusan itu haruslah dihormati.

Sikap mereka selaras dengan pandangan saya. Meski lolos “fit and proper test” dari Komisi III DPR-RI, tetapi calon tunggal Kapolri tersebut tidak harus dilantik oleh Presiden. Sebagai praktisi SDM, izinkan saya sedikit mengemukakan pandangan bahwa Kapolri itu jabatan dan polisi itu pekerjaan. Pemberi kerja (employer) adalah negara dengan polisi apa pun pangkat dan jabatannya adalah pekerja (employee). Presiden RI adalah atasan langsung (direct superior) sekaligus pengguna (user) dari jabatan Kapolri. Maka, tentunya ia harus tunduk-patuh pada semua aturan yang dibuat oleh pemberi kerja. Dalam lingkup pekerjaan apa pun norma ini jelas benar dan dimengerti semua orang. Apalagi ini jelas bukan jabatan sembarangan.

Saya berikan ilustrasi yang seringkali kami tangani. Untuk memilih seseorang di jabatan tertentu, akan dilakukan assessment. Fit and proper test yang dilakukan Komisi III DPR, sejatinya adalah semacam hearing dan FGD untuk menuji kemampuan dan kelayakan kandidat. Pihak yang akan memberikan kerja bisa mengajukan sejumlah calon untuk diuji. Dan penguji bisa memberikan penilaian. Demikian pula ahli dalam hal ini biasanya konsultan SDM dari luar institusi yang netral. Tetapi, kebijakan untuk memilih tetap ada pada user. Karena sehari-hari, kandidat akan bekerja dalam koordinasi user. Seringkali, calon yang sudah lolos uji dan disarankan ahli, tetap tak dipilih. Bahkan tak jarang alasannya sekedar karena “like and dislike” atau ketidakcocokkan. Hal ini sah-sah saja.

Apalagi ini calon Kapolri, Presiden sangat berhak menggunakan hak prerogatifnya untuk tidak melantik Kapolri atau membatalkan pencalonan yang bersangkutan dan menggantinya dengan calon lain. Dan Polri sebagai institusi penegak hukum seharusnya juga menghormati hukum. Lebih baik calon Kapolri “bermasalah” batal dilantik daripada saat sudah jadi Kapolri malah ditangkap oleh KPK, lembaga penegak hukum lain. Bila itu terjadi, bisa dipastikan Polri akan melindungi atasannya.

Kita harus ingat, bahwa Polri bahkan pernah melawan Presiden. Salah satu pemicu diturunkan-paksa-nya Presiden Abdurrahman Wahid adalah karena konflik beliau dengan Polri. Ia mengganti Kapolri tanpa konsultasi dengan DPR, sehingga dianggap melanggar Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000. Sebagai catatan, ketika itu Presiden mencopot Kapolri Jendral Pol. Roesmanhadi yang dinilai tidak mampu mengantisipasi terjadinya pembakaran sekolah Kristen STT Doulos. Presiden juga mengangkat Komjen Pol. Chaerudin Ismail yang segera dinaikkan pangkatnya menjadi Jenderal Polisi. Tetapi Polri melawan dan tidak mengakui Kapolri baru yang ditunjuk Presiden.

DPR mengeluarkan Memorandum I pada 1 Februari 2001 dan Memorandum II pada 30 April 2001. Tetapi Presiden membalasnya dengan “Dekrit Presiden” pada dinihari 23 Juli 2001. Hingga kita tahu akhir ceritanya, Presiden kalah. Ia di-impeach oleh MPR yang diundang ber-Sidang Istimewa oleh DPR. Pada 23 Juli 2001 untuk pertama kalinya Presiden Indonesia diberhentikan di tengah masa jabatan oleh MPR-RI dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Presiden.

Berkaca dari kasus tersebut, kita tahu, kali ini pun Polri kembali bersiap melawan. Apalagi baru saja Sidang Paripurna DPR-RI pun setuju menetapkan Komjenpol Budi Gunawan sebagai Kapolri. Bila ini dibiarkan terjadi, maka akan terjadi “Cicak vs Buaya jilid III”. Bedanya, kali ini Presiden dan Polri didukung DPR seolah berada di satu pihak, sementara KPK di pihak lain. Bila ini terjadi, opini publik sebagian besar rakyat yang anti-korupsi akan berpihak pada KPK. Kenapa? Sederhana saja. Selama ini KPK tidak pernah salah dalam menetapkan tersangka, dan tidak pernah kalah di pengadilan dalam menjebloskan tersangka korupsi menjadi terdakwa dengan alat bukti yang lengkap.

Dalam hal ini, Polri, Presiden, dan DPR serta semua partai politik dan petingginya harus sadar, bahwa tindakan menentang penetapan Komjen Pol. Budi Gunawan sebagai Kapolri bukan karena anti Polri. Bukan karena membenci Polri. Tetapi karena rakyat cuma anti dan benci kepada korupsi. Dan siapa pun pelakunya, ia harus diberi ganjaran setimpal. Karena semua Warga Negara Indonesia berkedudukan sama di mata hukum.

Catatan: Maaf, artikel ini diunggah ulang karena secara ajaib menghilang setelah diposting sekitar 30 menit lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline