Lihat ke Halaman Asli

Bhayu MH

WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Ge-eR, Memangnya Presiden Baca Tulisan Saya?

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1421505344972263894

[caption id="attachment_391394" align="aligncenter" width="512" caption="Ilustrasi: Jokowi sedang membaca buku (Foto: merdeka.com)"][/caption]

Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung siapa pun. Tetapi saya terus terang tertawa membaca sejumlah artikel hari ini yang “rumongso” (bahasa Jawa yang arti harfiahnya “merasa”, tetapi sebenarnya arti maknawinya lebih dalam daripada itu) dan ke-ge-er-an, bahwa Presiden Joko Widodo membaca artikel di Kompasiana sebelum mengambil keputusan.

Kenapa saya tertawa? Bukan karena mentertawakan artikel lain atau penulisnya, tetapi mentertawakan diri sendiri. Apa sebabnya? Saya pun pernah merasakan hal yang sama. Satu kali di Kompasiana. Satu kali di Politikana (yang sudah almarhum).

Untuk di Kompasiana, artikelnya adalah ini:


Mobil Menteri Ditilang Polisi, Siapa Menilang Mobil Aparat?

Nah, dua hari setelah artikel itu tayang walau tidak menjadi HL (HeadLine) namun hits/keterbacaannya lebih dari 1.000, digelarlah operasi gabungan Polri, Dishub dan TNI. Tujuannya? Untuk merazia kendaraan yang melintas di jalur busway Trans Jakarta. Bagaimana saya tidak ge-er? Cuma gara-gara tulisan di portal blog bersama ada tindakan nyata dari pemerintah.

Kedua, di Politikana malah lebih jelas lagi. Waktu itu saya mengunggah tulisan di sana yang mengulas mengenai berbagai skenario Presiden SBY bisa memperpanjang masa jabatan lebih dari dua periode. Dan di Politikana, saat itu tulisan saya juga jadi HL (HeadLine) yang bertahan kalau tidak salah dua hari. Memang karena tulisan di situs itu lebih sedikit, maka HL pun jauh lebih lama daripada di Kompasiana yang hanya hitungan jam.

Keesokan harinya, setelah artikel saya jadi HL, Presiden SBY sendiri berpidato untuk membantah adanya skenario itu. Dan kalimatnya mengarah sekali kepada tulisan saya, “Menanggapi berbagai isyu yang berkembang di masyarakat, serta tulisan seorang pakar di media internet… saya membantah adanya skenario dari saya untuk berupaya memperpanjang masa jabatan… bla-bla-bla”  (redaksinya tentu tidak persis seperti itu karena saya tidak merekamnya). Nah, saat itu, baik di Politikana maupun Kompasiana, tidak ada tulisan serupa tulisan saya. Berbeda dengan sekarang dimana Kompasiana lebih “hiruk-pikuk” oleh para analis politik.

Tentu saja, kali ini pun, saya merasa Jokowi membaca tulisan saya juga yang relatif lebih sepi daripada lapak para jagoan Kompasiana lainnya. Kedua tulisan itu adalah:


  1. Bukan Benci Polri atau Jokowi, Cuma Anti Korupsi
  2. Presiden Jokowi, Awas Impeachment!

Nah, tulisan kedua yang terkesan berbeda arah dengan tulisan pertama dimuat sebagai HighLight hanya sekitar tiga-empat jam sebelum pengumuman Presiden. Dari komunikasi yang saya lakukan langsung dengan “orang dalam istana”, sebelumnya sebenarnya Presiden berencana untuk membatalkan pencalonan Komjen Pol. BG sebagai bentuk peduli pada aspirasi masyarakat dan pemihakan pada komitmen anti-korupsi. Tetapi keputusan itu berubah karena menyadari bahwa ada “jebakan badman” bahwasanya ia bisa menghadapi pemakzulan karena dianggap “melawan DPR”. Maka, kita semua sama-sama tahu keputusan apa yang diambil beliau. Sangat cerdas dengan mempertimbangkan nasehat ahli hukum tata negara.

Pasalnya, apakah benar Presiden sempat membaca tulisan di media sosial? Mungkin saja. Kenapa tidak?

Tetapi maaf, secara pahit saya katakan, yang lebih sering terjadi adalah penasehatnya yang membaca. Lalu, sang penasehat memberikan saran kepada sang atasan, seolah itu adalah murni dari idenya sendiri. Atau dengan kata lain, sang penasehat “mencuri ide” dari khalayak.

Berdasarkan pengalaman saya bergaul dengan “dunia politik” dan juga “ranah bisnis”, hal semacam itu ternyata sangat lazim di Indonesia. Para staf ahli dan orang-orang di sekitar pemegang kekuasaan sebenarnya tidak terlalu pintar, mereka cuma “menurut” saja kepada atasan.

Malah, Fadli Zon itu pintar walau sering dianggap “corong”-nya Prabowo semata. Ia memang sejak mahasiswa sudah jadi “binaan” sang jenderal. Tetapi setidaknya ia pernah menjadi Mahasiswa Berprestasi tingkat Nasional dan lulus dari FSUI dengan IPK cemerlang.

Sementara, para penasehat penguasa sejatinya lebih banyak “tukang bawain tas”, “tukang bukain pintu” dan “tukang bikin minum” saja. Tetapi, nasehat mereka lebih didengar daripada para pakar. Maka, agar terlihat pintar, bisa jadi mereka memantau Kompasiana atau media lain.

Maka, jangan ge-er dulu kalau keputusan presiden –atau penguasa pemerintahan lain- sejalan dengan pikiran Anda. Kecuali nama Anda disebut langsung atau ditanggapi langsung sebagaimana pernah saya alami dengan ditelepon atau disurati, maka sebenarnya yang terjadi tulisan atau ide Anda dibaca dan diserap oleh penasehatnya. Lantas setelah ‘dikemas ulang’ (repackaging) lalu dijual kembali kepada atasannya sebagai ide asli dan orisinal darinya. Nah!

Siapa yang dapat pujian? Ya si penasehat itu dong.

Kita Kompasianer dapat apa? Cukuplah berpuas diri dengan “ge-er: dan “rumongso” tadi.

Hahaha…. :D




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline