Lihat ke Halaman Asli

Beringin Putih

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia menyukai hujan. Seorang gadis, yang kata orang orang datang dari Jakarta.

Setahun sekali, pasti ia datang ke tempat yang sama. Sudah 4 tahun berturut turut, ia datang ke lereng Gunung Merapi, di setiap awal November. Sampai orang orang kampung sini, sudah hapal dengan kedatanganya. Ia disambut bak saudara yang sudah lama tidak bertemu, beberapa pemuda sepertiku juga menunggu bila ia datang ke kampung. Gadis yang cantik memang, khas sekali dengan gaya orang Jakarta, yang tidak ditemukan di sudut lereng Merapi ini. Pakaian dan logat yang ia miliki, tata krama yang di sopan sopankan, agak aneh. Ia selalu pergi ke tempat yang sama, di bawah pohon yang sama, di bawah pohon Beringin Putih, di utara rumah simbah.

Bulan ini sudah awal November, Sebentar lagi ia pasti datang kembali. Beberapa penduduk juga sudah mulai membicarakannya, bertanya tanya apakah ia akan datang kembali atau tidak. Terutama para ibu yang ada di sawah, mereka ternyata masih teringat akan gadis Jakarta itu, yang biasanya datang setiap tahunnya. Begitu juga dengan para bapak, tapi mereka hanya mengamati, tidak banyak membicarakannya. Beberapa hal,  menjadi pikiranku tentang gadis Jakarta yang aneh ini. Terpikir aku akan bertanya kepadanya ketika ia datang nanti.

Malam ke 3 setelah ia datang ke kampung ini, (biasanya ia menginap selama seminggu). Ia pada petang hari, sebelum maghrib, selalu datang berjalan kaki, ke bawah pohon Beringin Putih (pohon tua, yang ada di kampung. Tempatnya ada di lereng merapi, di utara rumah simbah. Beringin putih ini, pohon beringin yang daunnya berwarna putih. Tidak ada yang tahu, sejak kapan pohon itu ada di sana dan siapa yang menanam. Sejak aku terlahir di kampung ini, yang kulihat Beringin Putih itu sudah dipagari di sekelilingnya, orang sekampung mengsakralkan pohon ini semenjak dahulu), gadis itu datang dengan membawa payung warna Merah. Lalu ia diam dan bertahan di bawah pohon itu, walaupun malam itu, lereng gunung hujan deras, tapi orang orang kampung masih bisa melihat gadis itu di pagi hari, tetap berada di bawah pohon Beringin Putih. Semalaman. Selalu begitu.

Kata orang, ritme hujan yang jatuh dapat membawa kita ke kenangan di masa lalu. Tempat kegemarannya mengamati hujan, di bawah pohon Beringin Putih pohon yang tua, sangat tua dan misterius. Aku sendiri menunduk ketika melewatinya, entah mengapa.

Kontradiksi yang aneh, hingga aku hanya bisa melihat tertegun. Jika gadis itu mulai datang ke Beringin Putih, ketika hari mulai mendung. Ia membawa payung berwarna merah, dan mulai duduk di bawah pohon kegemarannya itu. apakah ia akan datang.

Seketika itu.

‘breess….’, dan hujan jatuh, mengarah turun, dari puncak Merapi menuju ke bawah, kea rah selatan ke kota Yogyakarta yang berada di bawahnya. Hujan yang turun di sore hari, hampir merata, juga tak terlalu deras.

Dia. Gadis itu, duduk menghadap ke arah selatan, dan membelakangi Gunung Merapi. Waktu seperti berlapis, ketika aku mendengar adzan maghrib berkumandang. Seperti ada dunia lain, di sana. Sementara itu waktu semakin merinding. Aku mengamatinya dari balik ilalang yang tumbuh di dekat rumah simbah. Sudah 3 hari gadis Jakarta itu datang ke kampung ini lagi, sendirian, tanpa keluarga ataupun kerabat.

Kala itu sedang hujan.

Ia melepaskan payung merahnya, dan mulai menangis. Gadis itu menangis, ketika hujan cukup lebat menutupi air matanya yang jatuh. Ia tadi menunggu, menunggu air hujan bertambah deras. Saat yang tepat untuk ikut menangis bersama hujan, Ia menangis, gadis itu bersama dengan hujan yang jatuh. Dalam tangis nya terdengar kata kata : “ ada yang tidur, ada yang mengerti. Kesadaran yang dibuang buang, dan nafsu yang tercurah. Dalam pelukanmu aku mengitari sejarah jagad. Gunung di belakangku dan samudera di depanku. Kita terlalu rumit berpikir, hingga tak sadar, jawaban semua pertanyaan ada di mana tempat kita berpijak. Cinta yang begitu besar akan tampak membosankan, kamu juga harus tahu rasanya tidak dicintai. Biar cintamu tumbuh, biar nalarmu jalan, dan kerjamu direstui Tuhan. “, ujar gadis itu berteriak cukup keras.

“Mungkin dia tahu, jika aku memperhatikanya” , batinku menerka nerka kuatir.

Kulihat mata gadis Jakarta itu menerawang jauh, hanya menatap ke arah selatan Merapi, ke arah selatan kota Yogyakarta. Ia kemudian menangis lagi, kali ini lebih deras dari yang tadi, ia duduk merapatkan kedua lututnya ke depan dada dan menundukan kepalanya di atas kedua lututnya. Hujan membasahinya hingga rata, baju putih yang ia kenakan sudah berwarna air, seluruh dirinya membasah. Waktu semakin malam dan sebentar lagi, aku tidak bisa melihat apapun lagi, karena suasana akan menjadi gelap. Ia masih kulihat tersedu pilu.

Suara tangis yang kudengar semakin, menipis, tapi suara itu tidak hilang, seperti suara seekor jangkrik yang memecahkan keheningan malam. aku sedikit tersadar, bahwa aku sudah hampir 1 jam berdiri di tengah hamparan ilalang, berdiri sendirian. Berhadapan dengan dua waktu yang berbeda, badan dan jiwaku berseteru, kemana ia akan menuju. Pilihanku hanya dua, pulang atau mendatangi gadis itu. aku terdiam sesaat, tidak bisa berpikir. Kuputuskan untuk menghampirinya, sebelum aku bertobat, sebenarnya aku takut. Tapi, penasaran ini harus menemukan jawabannya.

Dalam gelap aku menerawang, jalanku merangkak, berusaha membedakan mana batu mana tanah lapang, berharap aku tidak jatuh dan mengagetkan gadis Jakarta, yang sering dibicarakan orang orang itu. berjalan dan berjalan, dengan langkah yang selau eling lan waspada. Aku mengusir batu batu di jalanan dengan ayatku sendiri, ayat hidup yang aku ambil dari pengalaman hidupku.

Tiba tiba aku telah hadir di hadapanya. Ia terlihat sangat lemah, pucat seperti air yang mengaliri sekujur tubuhnya. Bagaikan mayat yang kehabisan darah, ia sempat kukira mati pada pandangan pertama. Namun aku memastikannya hidup. Lantas kubelai rambut gadis perlahan, berharap warna pucatnya bukan sebuah pertanda suci. Gadis itu mengangkat kepalanya pelan ,berusaha melihatku, akupun memandangnya mencoba mencari jawab atas semua pertanyaanku. “Subhanallah…cantik sekali”, ucapku sepontan. Melihat wajah gadis itu, sungguh berbeda dengan badannya yang pucat mayat. Wajahnya bersinar kuning, matanya berwarna biru, bibirnya tipis merah muda. Segera aku melepaskan tanganku dari kepalanya, dan menyimpan baik baik ingatan akan pandangan pertamaku pada gadis itu, dengan diam, hening, wening dan waspada. Saat itu juga kepercayaan diriku hilang, berada di depan gadis yang secantik ini, aku sempat meragukannya sebagai manusia.

Dia terpaku melihatku, beberapa detik ia terpaku. Dan tiba tiba ia berbicara “semua ini ada kaitannya dengan Andana Andini, dan Garuda Yaksa Retna Peksi Jaladara, semua ini ada kaitanya dengan Selatan dan Angkasa. Dengan Cakrawangsa di barat, Kaneka Putra di Utara dan Pecuk Pecu Kilan di timur sana.” Katanya dengan mata sembab yang menatapku dalam dan tajam. Lantas aku yang mendengarnya, tak sempat untuk berpikir atau meragukan perkataaanya, rasanya bukan gadis ini yang berkata, ada cinta yang sangat besar dalam setiap katanya. “apa hubungannya ?”, kataku bertanya balik.

“mengapa kau menghadap ke utara, jika seharusnya kau menghadap ke selatan. Menghadap samudera tentu lebih bijak dan berani, pikiranmu luas dan kau terhubung dengan yang lalu yang seharusnya kau mengerti, tak tahukah kau setiap gunung mengetahui langkah langkahmu, setiap pakaian  yang kau kenakan, tiap kata yang kau katakan. Berdirilah tegak laksana panji kesuburan yang merestui seluruh bumi dengan nyanyian Sang Pencipta”, kata gadis itu.

“mengapa aku harus menghadap ke selatan, dan tidak ke utara, mengapa harus ada kesuburan, mengapa gunung gunung mengetahui langkah langkahku, mengapa kau bertanya seperti itu ? siapakah kamu ?, kataku bertanya. Dengan keberanian lebih.

“aku adalah Ibu Nusantara”, katanya.

Lalu ia kembali menangis. Matanya kembali menjadi sayu, dan tidak tajam lagi. Ia kembali menjadi manusia, dan seorang gadis Jakarta. Ia berlari ke pelukanku, dengan cukup erat, hingga aku cukup kaget dibuatnya. Wangi gadis ini tercium olehku, baunya wangi tanah sehabis hujan, kadang juga desir melati. Samar samar tercium.

Anginpun berdesir cukup kencang. Menggoyangkan pohon tua beringin putih, tempat kami berdua berdiri. Hujan masih turun sedang, nampaknya akan cukup lama bertahan hingga pagi menjelang. Helai beringin putih, jatuh ke tanah. Disapu angin, entah kemana pergi.

Aku kembali menatap, gadis, itu. dan dia menatapku juga. Aku rasa aku jatuh cinta kepadanya. Kami terdiam beberapa lama. Seakan dua dunia yang sudah lama terpisah bersatu kembali.

“Matamu itu bilang, kau cinta padaku. Jika itu nyata, aku tak ragu untuk membalas cintamu. Satu syaratnya, lantas kita tidak lagi jadi manusia. Kita harus menjadi dewa dewi, maksudku perrgilah ke selatan dan carilah asal usulmu, tak perlu kau memungkiri hatimu” , katanya sebagai seorang gadis Jakarta.

Malam sudah semakin mati, fajar datang.

Yogyakarta, 11 November 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline