Lihat ke Halaman Asli

PDIP, Capreskan Jokowi atau Gembos...

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan saya tanggal 1 Maret lalu, Jokowi Tak Nyapres, Prabowo Presiden 2014, terkonfirmasi oleh hasil survey paling gres oleh lembaganya Burhanudin Murtadi, Indikator Politik Indonesia.  Hasil surveynya bisa dilihat di sini. http://indikator.co.id/news/details/1/35/Laporan-Konferensi-Pers-Indikator-Efek-Jokowi-terhadap-Elektabilitas-Partai-dan-Simulasi-Elektabilitas-Capres-Potensial-di-2014.

Dalam penelitian ini, INDIKATOR menganalisis peluang Jokowi melawan Prabowo dan Aburizal Bakrie, dibandingkan dengan Megawati melawan Prabowo dan Aburizal Bakrie.  Kesimpulan utamanya, jika Jokowi dicalonkan PDIP, kemungkinan besar Jokowi menang dengan satu putaran saja. Mutlak. Survei mendapatkan angka, Jokowi dipilih oleh 49,1% responden. Prabowo di urutan ke dua dengan 17,5% dan Aburizal 13,2%. Jika sisa suara yang 20% adalah golput, maka hasil akhirnya adalah Jokowi 62%,  Prabowo 22% dan Aburizal 17%.  Menang mutlak!

Hasil berbeda didapat jika Megawati yang akhirnya maju dari PDIP. Posisi pertama ditempati oleh responden yang tidak menjawab, yaitu 29,4%, sedangkan Prabowo meraih 29,1%. Secara mengejutkan, Aburizal mengungguli Megawati, 23,8% lawan 17,7%. Hasil akhir, apabila yang tidak menjawab dianggap golput, urutannya Prabowo 36%, Aburizal 30% dan Megawati 22%. Nah, kalau begini ceritanya, Prabowo dan Aburizal akan bersaing di putaran kedua.... Dugaan saya, golput yang menang!

Efek Jokowi pada Pileg

Tema utama survey ini sebetulnya ingin melihat efek Jokowi terhadap elektabilitas PDIP pada pileg 2014. Didesain dengan metodologi survey eksperimental, INDOKATOR membandingkan jawaban 3 set responden (masing-masing 400 orang) yang diberi pertanyaan berbeda. Kelompok pertama ditanya, jika pemilu diadakan sekarang, partai apa yang akan dipilih? Kelompok kedua ditanya, jika PDIP mencalonkan Jokowi sebagai capres, partai apa yang akan dipilih? Sedangkan kelompok ketiga ditanya, jika PDIP tidak mencalonkan Jokowi sebagai capres, partai apa yang dipilih?

Kesimpulan dari survey ini adalah, PDIP akan menang mutlak pada pileg jika mencalonkan Jokowi sebagai capresnya. Di responden kelompok II, PDIP meraih suara 37,8%, jauh meninggalkan Golkar yang hanya dipilih oleh 14,6% responden, dan Gerindra di urutan ketiga dengan raihan 6,6%.

Di kelompok I, di mana nama Jokowi sama sekali tidak disebut-sebut dalam pertanyaan tentang partai yang dipilih, ternyata PDIP hanya mendapat 21.6% suara, sedangkan Golkar 17,5% dan Gerindra 9,1%. Suara untuk Gerindra tipis di bawah Demokrat, yang meraih 9,2%.

Nah, di kelompok III, di mana pertanyaannya adalah “jika PDIP tidak mencalonkan Jokowi sebagai capres, partai apa yang dipilih?”, 21,8% responden memilih Golkar ; sedangan PDIP hanya dicontreng oleh 14,4% responden, dan Gerindra 11,1%.

Dari hasil di atas jelas tampak pengaruh figur Jokowi terhadap elektabilitas PDIP.  Jika ia dicapreskan, suara partai-partai lain tersedot ke partai Wong Cilik ini, dan sebaliknya, jika Jokowi tidak dicapreskan, PDIP justru akan gembos (Bisa jadi, ini cerminan rakyat  'menghukum' PDIP karena tak mencalonkan Jokowi). Jika demikian, strategi ibu Mega untuk menunda penentuan capres PDIP menunggu hasil pileg agaknya kurang efektif. Ibu Mega akan dianggap tidak tegas dan lamban. Padahal kita paham, saat ini rakyat sangat muak dengan segala sesuatu yang terkesan tidak tegas dan lamban...

Jokowi sebagai Cawapres?

Pertanyaan di atas tidak ditanyakan dalam survey ini, jadi tidak bisa dijawab dengan tepat. Tapi bagaimanapun saya coba menganalisa, karena pertanyaan itu toh timbul dari pikiran saya juga...

Kalau kita lihat efek Jokowi pada pilgub Jabar dan Sumatera Utara, kehadiran Jokowi tidak sanggup membawa Rieke dan Effendi Simbolon menjadi pemenang di sana. Artinya apa? Rakyat tau, Jokowi hadir bukan untuk memimpin mereka. Nah, apabila Jokowi dicawapreskan, rakyat pun tau ini hanya trik-trik si capres untuk mendulang suara. Kecuali di era JK, wapes di Indonesia tidak berperan penting dalam memimpin bangsa.  Wapres dipilih hanya untuk mendulang suara.

Lagi pula, apa Jokowi mau? Ada beberapa ‘petunjuk’ buat kita untuk menduga apa sikap Jokowi mengenai hal ini. Pertama, Jokowi berulang kali menegaskan bahwa tugasnya saat ini adalah mengurusi Jakarta; urusan macet dan banjir menjadi prioritasnya yang utama.

Kedua, dalam wawancara dengan Aiman Wicaksana di Kompas TV beberapa hari silam, saat diminta untuk memilih antara “Keinginan Rakyat atau Partai”, Jokowi menjawab: keinginan rakyat lebih utama. Tugas partai ujung-ujungnya adalah untuk rakyat juga, begitu alasannya.

Nah jika demikian, saya tetap berkesimpulan seperti pada tulisan yang lalu, bahwa : “ … langkah ini tidak akan menguntungkan bagi siapapun. Pamor Jokowi akan langsung ambles jika hanya jadi cawapres; meninggalkan tugas di DKI hanya demi mengangkat suara buat sang capres. Bisa jadi rakyat malah menghukum mereka yang menunggangi Jokowi, dengan cara tidak memilih pasangan itu!

Saya berharap besar – dan yakin – Jokowi tidak akan bersedia dijadikan cawapres oleh siapapun. Termasuk bila Ibu Mega memintanya; karena rakyat akan menolak dan Jokowi tau itu.”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline