Lihat ke Halaman Asli

Naviz De Vinci

Pembelajar di Universitas Maiyah

Tekad Pelajar Indonesia di Jerman

Diperbarui: 12 Mei 2017   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu banyak orang mengatakan kuliah di luar negeri itu mahal, hanya bisa dicapai oleh orang-orang sangat kaya ataupun orang dengan IQ sangat tinggi. Setahun berjalan yang saya temui  kebanyakan bukan pemuda-pemudi dari latar yang sangat kaya. Diluar yang mendapatkan beasiswa, malah 80%-nya melakukan part time kerja sambil kuliah.

Tuntutan perkuliahan yang cukup berat karena bahasa yang berbeda sudah menjadi tantangan tersendiri. Belum kemudian mereka membagi waktunya untuk mengerjakan tugas sambil bekerja. Pastinya sangat melelahkan. Selain harus menghemat uang sakunya untuk bertahan hidup, beberapa bahkan rela bersabar selama bertahun-tahun tidak pulang ke Tanah Air.

Bagi mayoritas pelajar, tantangan awal yang harus dihadapi ialah Schock Culture, Perbedaan Budaya. Bagi pelajar muslim khususnya, tidak mudah mencari masjid atau tempat beribadah. Selain itu terkadang ada dosen yang mengadakan ujian saat waktu jum’at-an tiba, belum ketika tiba hari raya besar umat Islam seperti Idul Adha dan Idul Fitri bersamaan dengan ujian kampus.

Selain itu ada juga tantangan untuk tetap mengonsumsi makanan yang halal. Kebanyakan pelajar ataupun orang-orang Indonesia di daerah yang jauh dari toko-toko Turki kemudian lebih memilih menjadi Vegan (tidak memakan daging).  

Beberapa teman bilang, agar bisa bertahan hidup di Negara orang itu harus bermental baja. Apalagi bagi muslimah yang berjilbab. Tantangan di-rasis-in disini juga pasti ada, dari yang ketika tanya arah terus disasarin, rasis-in pakai omongan (verbal) dan lainnya. Tapi sejauh ini lebih banyak orang Jerman yang terbuka dengan perbedaan agama.

Saya selalu salut dengan pelajar-pelajar yang karena keteguhan dan kegigihannya terus bisa bertahan berjuang di Jerman ini, sebab banyak pula yang tidak bisa survive dan akhirnya pulang atau mengambil tindakan diluar batas kewajaran kemanusiaan.

Dari segelintir orang yang ingin melepas kewarganegaraan Indonesianya, saya masih semangat dan optimis bahwa banyak warga Indonesia di perantauan yang berjuang, mencintai dan dan terus menginspirasi Tanah Air Indonesia.

                                                ***Bersambung***

#writingchallenge12

Nafisatul Wakhidah

Zwiefalten, 12 Mei 2017

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline