Lihat ke Halaman Asli

Naviz De Vinci

Pembelajar di Universitas Maiyah

Bertemu Batik di Jerman

Diperbarui: 8 Mei 2017   15:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini Tuhan teramat sering mengingatkan saya akan hebat dan besarnya Mbah-mbah Nenek Moyang Nusantara. Pekan lalu, saat mendampingi pasien melakukan terapi saya iseng mengambil buku “mak clemut” dari rak bagian ketrampilan. Ndilalah-nya ing Ndalem Kersaning Gusti buku yang terambil berjudul Batik; Ideen und Anregungen fuer eigene Kunstwerke yang ditulis oleh Joy Campbell. Saya pun terkaget-kaget sendiri di tengah para pasien yang sedang asyik mengerjakan karyanya.

Kok bisa di daerah se-terpencil tempat saya jauh dengan kota-kota besar di Jerman seperti Stuttgart dan Munchen ditemukan buku tentang Mahakarya Nusantara yang mengulas Batik. Lagi-lagi saya kembali pada jaman SD, waktu dimana banyak belajar dan menggunakan bahasa Jawa Kromo di sekolah, menggambar corak batik dalam pelajaran ketrampilan dan mempelajari berbagai lagu Mocopatan.

Buku tersebut mengajarkan pembacanya bagaimana cara membatik step by step dari corak-corak mudah sampai yang lumayan njlimet. Dari penggunaan kain batik sebagai bungkus sarung bantal, hiasan telur ostern dan hiasan dinding. Lebih lanjut ternyata penulisya belajar langsung dari sebuah sanggar batik di Yoyakarta. Waktu kolega bertanya apa saya juga bisa membatik, hati pun mencelos karena ternyata saya sama sekali belum pernah praktik membatik. Peinlich!

Sejak 2 Oktober 2009, Batik telah dipatenkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia atau lebih tepatnya lagi sebagai Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Yang berarti tidak akan ada lagi negara yang dapat mengklaim Batik sebagai warisan budayanya. Pada perkembangannya tahun 2014, Yogyakarta dinobatkan sebagai The World's Batik City alias kota batik dunia.

Batik sendiri memiliki nilai historis dan filosofis seperti misalnya motif Ciptoning (bermakna Kebijaksanaan), motif Parang Kusumo (Simbol status bagi pemakainya), Motif Kawung (Keperkasaan dan Keadilan), motif Sekar Jagad (Kecantikan dan keindahan), motif Truntum (cinta yang tumbuh kembali) dan ada juga motif Pamiluto serta banyak lainnya.

Kebudayaan lambat laun akan hilang ketika tiada penerusnya. Seperti bahasa Sanskerta misalnya. Ketika dulu Bahasa tersebut merupakan Bahasa yang digunakan Kerajaan-kerajaan di Nusantara berbagai kitab juga sebagai pusaka, ternyata hari ini hanya tinggal 3 orang saja yang masih bisa menguasainya, Bapak Manu Jayaatmaja Widyasepura salah satunya. Semakin kita tidak tahu masa lalu sejarah kita, maka akan semakin hilang kekuatan kita sebagai Bangsa Garuda. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang lahir pada 1945 namun Bangsa Indonesia telah melahirkan Negara Indonesia pada 1945. Terus belajar dan jangan pernah lupakan sejarah panjang perjalanan bangsa ini.

***Bersambung***

#Writingchallenges8

Nafisatul Wakhidah

Zwiefalten, 8 Mei 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline