Sedikit banyak aku tidak setuju dengan makna jatuh cinta. Terkesan tanpa sengaja, ceroboh dan tanpa pertimbangan. Jatuh memang tidak diinginkan. Tapi siapa orang di bawah kolong langit ini yang tidak ingin jatuh cinta? Tapi mayoritas manusia memaknai jatuh cinta secara harfiah. Mereka benar-benar jatuh tidak sengaja karena cinta. Tak heran perasaan itu muncul dan hilang secara tiba-tiba.
Diriku sendiri memaknai jatuh cinta lebih dari sekedar harfiahnya. Cinta perlu dibangun. Kita tidak bisa jatuh kepada sembarang orang di pelukan cintanya. Mencintai berarti harus membuat keputusan.
Harus mempertimbangkan segala urusan, bukan urusan jantung atau yang di bawah lambung. Mencintai seseorang berarti harus mencintai dirinya, kekurangan dan kelebihannya serta keluarganya. Dan bukan hal yang egois bila aku menuntut perlakuan yang sama.
Kisah cintaku nan indah kepada dia yang menyandang nama indah berawal dari pengabdianku kepada negara yang mengantarkanku pada 'petualangan' hidup di sebuah kabupaten yang terletak di pesisir timur Pulau Sumatera.
Beberapa bulan setelah studiku di sebuah sekolah tinggi milik pemerintah dapat kuselesaikan, aku ditempatkan di kabupaten ini, Kabupaten Rokan Hilir yang beribukota di Bagansiapiapi, di Provinsi Riau.
Bagi yang lahir sebelum 1990-an, hampir pasti pernah mendengar nama Bagansiapiapi, paling tidak di buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Kota Bagansiapiapi dulunya adalah daerah penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Kota Bergen di Norwegia. Berton-ton ikan, mulai dari ikan basah segar, ikan atau udang kering, ikan asin atau terasi, diekspor dari kota ini ke berbagai tempat di seluruh penjuru dunia.
Saat masa kejayaannya dulu, industri perikanan telah menjadikan Bagansiapiapi sebuah kota modern. Pada tahun 1934, Bagansiapiapi sudah memiliki fasilitas pengolahan air minum, pembangkit tenaga listrik dan unit pemadam kebakaran. Karena kemajuan yang dicapai kota ini dibandingkan daerah-daerah lain di Provinsi Riau, Bagansiapiapi disebut Ville Lumiere (Kota Cahaya).
Namun fakta sejarah ini menjadi sangat bertolak belakang ketika aku sudah menginjakkan kaki di kota ini. sebelum aku datang ke kota ini, aku membayangkan bahwa pastilah saat ini Bagansiapiapi sudah berkembang pesat menjadi kota yang maju, dengan asumsi bahwa pada tahun 1934 saja teknologinya sudah semaju itu. Namun ternyata faktor menurunnya hasil ikan yang sangat drastis berimbas besar pada lambatnya perkembangan kota ini setelah masa kejayaan itu.
Satu hal lagi yang sangat menarik perhatianku, yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan sebelumnya adalah di kota ini, Bagansiapiapi, memiliki komunitas keturunan Tionghoa yang sangat besar.
Ketika aku menginjakkan kaki pertama kali di kota ini, aku seakan memasuki daerah di Negeri China. Mayoritas rumah penduduk masih terbuat dari papan, dan di ruang depan rumahnya terdapat altar untuk beribadah, tidak lupa dihiasi dengan lampion berwarna merah menempel di rumah-rumah tersebut.
Di kota ini juga banyak dibangun kelenteng besar, yang semakin melengkapi suasana komunitas Tionghoa yang sangat kental.