Setiap organisasi tentu dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu, baik itu organisasi yang dibentuk dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan finansial, atau disebut organisasi profit, ataupun organisasi non-profit sekalipun tetap memiliki tujuan tertentu. Begitupun dengan sebuah perusahaan yang dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan kepentingan dan keinginan pemiliknya. Lalu bagaimana kita tahu apakah sebuah organisasi, atau dalam hal ini konteksnya adalah sebuah perusahaan telah berhasil mencapai tujuannya atau belum? Tentu diperlukan pengukuran-pengukuran tertentu. Secara umum, perusahaan dinilai keberhasilannya dari bagaimana kinerjanya setiap tahun, khususnya kinerja keuangannya, tentu ini bukanlah indikator satu-satunya, namun bisa dibilang sangat penting karena sesuai dengan karakteristik perusahaan yang bertujuan memperoleh keuntungan.
Beberapa dekade terakhir, kinerja perusahaan sering dilihat melalui perspektif keuangan yang bersumber dari laporan keuangan. Dari informasi itu, pihak-pihak terkait akan melakukan perhitungan dan analisis dengan berbagai indikator pengukuran seperti profit margin ratio yang didapatkan melalui perbandingan antara net income dengan sales(total pendapatan/penjualan). Perbandingan ini menggambarkan bagaimana efektivitas perusahaan meminimalkan beban-beban operasi sehingga nilai keuntungan (net income) tidak jauh dari total penjualannya (sales). Misalnya, Perusahaan B pada tahun 2016 menghasilnya penjualan dari operasi bisnisnya sebesar Rp.10 miliar, dan keuntungan bersihnya sebesar Rp.2 miliar. Melalui perhitungan profit margin ratio, diperoleh angka 20%, artinya, 20% dari penjualan yang diterima oleh perusahaan B dapat dikonversi menjadi keuntungan bersih. Tidak ada nilai yang menjadi batas minimal atau ideal, namun dapat dipahami bahwa semakin besar prosentase rationya maka lebih efektif kinerja perusahaan dalam menekan biaya-biaya operasionalnya. Rasio lainnya yang juga sangat populer adalah Return on Assets atau ROA. ROA hampir sama dengan profit margin, hanya perbedaannya adalah dalam pengukuran ini net income dibandingkan dengan total aset perusahaan. Dalam indikator ini, perusahaan dapat dinilai melalui seberapa efektif perusahaan menggunakan asetnya untuk mendapatkan keuntungan. Kedua pengukuran ini sangat populer digunakan sebagai alat ukur kinerja keuangan perusahaan, sampai beberapa pihak mulai memahami kekurangan pengukuran ini. Banyak pihak menyadari bahwa laporan keuangan sangat rentan dimanipulasi oleh manajemen, misalnya, bisa saja untuk memperoleh angka yang besar dalam net incomenya, perusahaan dengan sengaja mencatat penjualan yang lebih besar dari seharusnya, atau sengaja menahan pengeluaran yang seharusnya dimasukkan dalam periode tersebut.
Mulai turunnya 'popularitas' kedua rasio tersebut untuk digunakan sebagai alat ukur perusahaan memunculkan alat ukur yang sebenarnya telah lama ditemukan namun masih jarang digunakan karena memang tidak mudah diperoleh datanya dan hanya terbatas pada perusahaan yang telah terdaftar di bursa efek. Pengukuran itu dikenal dengan sebutan Tobin's Q ratio, yang pertama kali diperkenalkan oleh Nicholas Kaldor pada tahun 1966 dalam artikelnya "Marginal Productivity and the Macro-Economic Theory of Distribution: Comment on Samuelson and Modigliani". Kemudian, rasio ini diperkenalkan kembali pada tahun 1968 oleh James Tobin, seorang ekonom Amerika yang memenangkan Nobel Memorial Prize in Economics pada tahun 1981 untuk analisis pasar keuangan dan secara khusus untuk pengembangan teori pemilihan portofolio, yang menghipotesiskan bahwa nilai pasar gabungan (combined market value) dari semua perusahaan di pasar saham harus sama dengan biaya penggantian (replacement costs) mereka. Rasio Q dihitung sebagai nilai pasar (market value) suatu perusahaan dibagi dengan nilai pengganti (replacement value) aset perusahaan.
Pada awalnya, Tobin's Q diperoleh melalui perhitungan:
Namun, perhitungan ini kemudian disimplifikasi karena tidak mudah memperoleh nilai pasar dari hutang perusahaan, sehingga perhitungannya diubah menjadi:
Market value diperoleh melalui:
Total Nilai Pasar (Total Market Value) digunakan untuk mengacu pada kapitalisasi pasar atas perusahaan yang diperdagangkan secara publik, diperoleh melalui pengalian jumlah saham perusahaan yang beredar dengan harga saham saat ini (untuk perhitungan ini digunakan harga saham pada tanggal 31 desember tahun tersebut).
Sebagai gambaran, sebuah perusahaan O tercatat memiliki market value sebesar Rp.6 miliar, total hutang (liabilities) sebesar Rp.4 miliar, dan total asset sebesar Rp.10 miliar. Melalui rumusan Tobin's Q dapat diperoleh rasio sebesar 1. Nilai ini menggambarkan bahwa perusahaan dinilai sama antara nilai perusahaan tercatat dengan nilai perusahaan di pasar. Jika hasil dari rasio tersebut dibawah 1 maka berarti perusahaan tersebut undervalued atau di pasar nilai perusahaan dibawah nilai tercatat. Sebaliknya, jika rationya diatas 1 maka perusahaan tersebut dinilai lebih tinggi di pasar daripada nilai perusahaan tersebut yang tercatat (overvalued). Sebagai contoh, Ace Hardware, selama tahun 2013, 2014, dan 2015 berturut-turut memperoleh nilai rasio Tobin's Q sebesar 4.17, 4.67, 4.44. Artinya, di pasar saham Bursa Efek Indonesia (BEI), perusahaan retail tersebut dinilai empat kali lipat dari nilai buku perusahaan. Contoh sebaliknya, Bank Danamon selama periode yang sama memperoleh rasio sebesar 0.36, 0.37, 0.30, hal ini berarti di BEI market, Bank Danamon hanya dinilai sepertiga dari nilai buku perusahaan.
Melalui penjelasan dan contoh di atas, Tobin's Q memiliki keunggulan dari Profit Margin, ROA atau indikator keuangan yang berdasarkan pada historical accounting performance lainnya karena merefleksikan ekspektasi pasar sehingga relatif bebas dari kemungkinan manipulasi oleh manajemen perusahaan. Tahir dan Razali menyatakan bahwa melalui rasio Q, sebuah perusahaan dikatakan telah berhasil menciptakan value jika return of investment lebih besar daripada cost of investment-nya. Sebaliknya, perusahaan disebut gagal mencapai tujuan value-maximising jika nilai dari Q lebih kecil dari 1. Tentu sekali lagi, limitasi dari indikator ini adalah hanya bisa diterapkan pada perusahaan yang terdaftar di bursa efek.
Sumber:
- http://www.investopedia.com/terms/q/qratio.asp
- https://absel-ojs-ttu.tdl.org/absel/index.php/absel/article/viewFile/715/684
- Tahir, I. M., and A. R. Razali. (2011), "The Relationship between Enterprise Risk Management and Firm Value: Evidence from Malaysian Public Listed Companies". International Journal of Economics and Management Sciences, 1(2): 32-41.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H