Lihat ke Halaman Asli

Betrika Oktaresa

Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Mengubah Masa Lalu

Diperbarui: 5 Februari 2017   23:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://ucifweb.it/ritorno-in-gara-di-glauco-l-s-ricci/

Jakarta, 1970-an.

Seorang laki-laki duduk termenung di satu sudut Pasar Senen, salah satu pasar besar tertua di Jakarta. Har namanya, dia melamun, jauh dari orang tua dan adik-adiknya yang dia tinggalkan jauh di Jogjakarta. Merantau, mengadu nasib, tak cukup rasanya menggambarkan kondisinya saat ini. Tidak mudah hidup di Jakarta, terutama setelah kondisi ekonomi ibukota masih belum pulih benar dari tragedi di tahun 1965 kemarin. Pekerjaan? Kata orang di Jakarta banyak yang bisa kulakukan, mana buktinya? Sedangkan aku hanya bisa duduk termenung, melawan lapar tanpa uang, teriak laki-laki itu dalam hatinya.

Dia tak mau merepotkan kakaknya, satu-satunya keluarga terdekatnya di kota ini. Dia memahami, kakaknyapun menjalani hidup yang tidak mudah di Jakarta. Juntak, seorang sahabat yang berasal jauh dari seberang sana, lebih banyak menghabiskan waktunya, berbagi cerita yang tak jua berbeda. Siang dan malam sering terbalik bagi mereka, mereka melakukan apapun untuk bertahan hidup. Kehidupan yang keras tak hanya sebuah istilah bagi mereka, karena bertahan hidup memiliki arti yang sebenarnya, tak bisa berkelahi? Nyawa taruhannya.

Menenggak minuman itu menjadi sebuah pelarian, melenyapkan duka hidup dalam sengsara, menghapuskan sejenak lara melawan derita. Inilah obat terhebat di dunia, pahamnya ketika itu, setelah beberapa hari mulai rutin mengkonsumsi keduanya.

Seorang laki-laki muda, hampir seusia dengannya, dengan ragu-ragu mendekati Har. Posturnya tak terlalu tinggi, berpakaian cukup rapi dan berbeda dengan kebanyakan orang di saat itu.

Dari Jawa mas?” tanya si laki-laki yang datang, menggoyah lamunan Har yang sedari tadi jatuh dalam lamunannya.

Nggih mas, kok tau?” sahut Har ramah.

Keduanya tenggelam dalam rangkaian percakapan yang menyenangkan. Seakan si laki-laki yang menghampiri tadi tahu semua hal tentang Har. Paham benar bahwa membicarakan sepakbola merupakan kunci membuka ribuan sahutan kata-kata di antara mereka. Mereka menjadi sahabat, bahkan seperti saudara, bahkan seakan memiliki ikatan darah melihat bagaimana mereka menyatu.

Hari demi hari, minggu demi minggu, laki-laki asing berubah menjadi pencerah dalam hidup Har, menariknya dari kehidupan keras ibukota, menjauhkannya dari Juntak dan teman-temannya, menjauhkannya dari candu rokok dan minuman memabukkan itu. Laki-laki itu membantunya lepas dari lembah hitam ibukota, mendorongnya mendapatkan pekerjaan yang lebih tegas menopang kehidupan Har. Dia seakan sebuah kompas yang membantunya mencari jalan mana yang harus Har pilih.

Tiba disuatu malam sejak dua bulan pertemuan pertama mereka, di selasar rumah kontrakan Har yang sekarang mampu dia bayar dengan gajinya.

“Har, besok aku pamit pulang ya” ucap laki-laki itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline