Jakarta kembali menjadi sorotan dunia internasional. Kali ini bukan karena suatu prestasi luar biasa yang berhasil diukir, melainkan karena Jakarta menduduki peringkat pertama kota paling berpolusi di Dunia. Seharusnya, hal ini menjadi fakta yang paling menakutkan bagi penduduk DKI Jakarta.
Adanya teknologi, membantu masyarakat awam mudah dalam memperhatikan kadar polusi di Jakarta. Melalui google search engine, masyarakat tinggal memasukan kata kunci air quality beserta daerah tempat mereka tinggal, maka akan ditemukan kualitas dari udara tersebut dalam ukuran main pollutang : PM 2.5. Faktanya, Jakarta selalu masuk di dalam kategori unhealthy (Tidak Sehat). Selain dari pada penggunaan aplikasi/teknologi tersebut, polusi jakarta dapat tampak oleh mata. Pada siang hari, Jakarta seakan terlihat seperti kota berkabut tanpa langit biru.
Kondisi Jakarta sebagai kota berpolusi tinggi, dapat dianalogikan secara lugas seperti seorang yang bukan perokok dipaksa untuk terus merokok. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa rokok tidak pernah memiliki dampak dalam jangka waktu singkat, tetapi dapat dipastikan bahwa berdampak mematikan. Kota berpolutan menggambarkan kualitas hidup dari masyarakatnya di masa depan. Bayangkan anak-anak kita yang sejak kecil, tumbuh berkembang di kota yang berpolusi tinggi, sudah dapat dikalkulasi akibatnya pada 20-30 tahun mendatang.
Beberapa pemberitaan media masa sudah menggambarkan akibat tingginya polusi di Ibu Kota Indonesia ini. Faktanya sejak meningkatnya polusi di jakarta, jumlah pengidab penyakit terkait pernafasan meningkat drastis. Bahkan di dalam satu pemberitaan dikatakant bahwa 58% warga Jakarta mengidab penyakit akibat polusi udara. Hanya saja, fenomena ini bagaikan fenomena gunung es. Di mana masih terdapat kemungkinan bahwa masih banyak warga jakarta yang tidak sadar kualitas kesehatannya menurun akibat polusi udara dan tidak pernah melakukan pemeriksaan kesehatan secara khusus.
Tingginya polusi di Jakarta sudah seharusnya menjadi perhatian dari Pemerintah Provinsi. Masih disayangkan, kondisinya saat ini masih terjadi lempar melempar kesalahan akibat polusi tersebut. Meskipun andil terbesar dapat dilakukan oleh Pemprov, tetapi Pemprov sampai saat ini belum menunjukan aktifitas yang kongkrit terkait dengan penekanan polusi udara di Jakarta. Misalnya, apabila uji KIR dilakukan dengan benar maka banyak Metromini ataupun kendaraan umum lainnya akan berhenti beroperasi di jalan raya. Secara nyata, warga jakarta tidak membutuhkan alat untuk melakukan uji emisi kepada Metromini tua yang masih banyak terdapat di jalanan Ibu Kota. Asap hitam nan tebal bahkan dapat mengganggu pandangan jalan, banyak keluar dari kendaraan-kendaraan umum tersebut. Artinya, bagaimana peran Pemprov yang menjadi penanggung jawab utama terhadap kepentingan umum, masih dipertanyakan.
Selain pengaturan dan pengawasan terkait dengan kendaraan umum, Pemprov juga dapat berperan besar terkait dengan pengawasan pemeliharan terkait dengan lahan hijau. Sudah selayaknya, suatu lahan hijau di kota harus mencapai 30% dari pada lahan yang dipergunakan untuk bangunan. Nyatanya, keberadaan lahan hijau di jakarta hanya 9,9%. Di mana lahan hijau yang terdapat di jakarta juga masih minim pohon ataupun tanaman yang dapat menyerap tingginya CO2.
Sebagai warga jakarta yang tidak bisa berharap banyak terhadap pergerakan Pemerintahan Daerah yang terfokus pada hal-hal yang unik pada saat ini. Saya hanya berpikir untuk mengajak warga masyarakat jakarta yang lain, yang peduli terhadap nasib kesehatan dari keturunan ataupun orang-orang terkasih di sekitar kita. Dengan memperhatikan dan merawat kendaraan yang kita pergunakan dengan sebaik-baiknya. Meskipun artinya kita tidak dapat merubah banyak terhadap polusi jakarta, tetapi paling tidak, kita tidak memperparah kondisi yang memang sudah parah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H