Awal tahun ajaran baru, selain alat tulis dan kelas yang baru, peserta didik dan guru sama-sama menyusun strategi dalam kegiatan belajar mengajar. Jika peserta didik dahulu hanya sebagai objek atau penerima ilmu dari guru sebagai sumber belajar, kini model pembelajaran menuntut keaktifan murid atau bisa dikatakan pembelajaran harus berpusat pada peserta didik. Terminologi kesepakatan kelas dirasa lebih manusiawi dibandingkan dengan kontrak pembelajaran yang lebih familiar diterapkan utuk dunia kerja. Bersepakat dengan peserta didik juga melatih guru untuk bisa mendengar apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh peserta didik sebagai bahan refleksi awal pembelajaran.
Beberapa tahun ke belakang kita sebagai guru pasti mengenal istilah kontrak pembelajaran bukan? Yang mana, kontrak ini notabene hanya dibuat oleh satu pihak saja yaitu guru. Sehingga, seiring berjalannya waktu, acap kali peserta didik tidak merasa harus ikut mewujutkan suatu target dalam pembelajaran di kelas.
Lain halnya, jika peserta didik diajak untuk terlibat menyusun kesepakatan kelas, tidak jarang tiap kelas akan memiliki poin kesepakatan yang berbeda-beda. Seperti contoh pengalaman penulis menerapkan kesepakatan kelas di kelas yang diampu yaitu XI Perhotelan 1 yang berbeda dengan kelas XII Teknik Komputer dan Jaringan 2 SMK Negeri 1 Pracimantoro. Dilihat dari kompetensi keahliannya kedua kelas tersebut berbeda, otomatis karakter dan target peserta didik-pun juga berbeda.
Pembelajaran Bahasa Inggris untuk peserta didik kompetensi keahlian Perhotelan akan menitik beratkan pada kemampuan komunikasi (speaking) sehingga akan selalu ada challenge untuk berbicara menggunakan Bahasa Inggris (3 minutes speech) misalnya. Sedangkan, untuk peserta didik program keahlian Teknik Komputer dan Jaringan enggan untuk membuat kesepakatan yang demikian. Sebab, mereka (anak-anak teknik ini) memiliki kecenderungan untuk sekedar bisa mengerjakan soal (reading) dan belajar grammar. Namun tidak menutup kemungkinan, jika ada anak yang menghendaki demikian akan difasilitasi juga (sangat jarang terjadi).
Budaya positif seperti DO and DONT. Apa yang bisa dilakukan dan tidak boleh dilakukan di dalam kelas juga perlu disepakati. Sekali lagi, karena ini kesepakatan bersama maka kedua belah pihak juga terlibat. Tidak hanya aturan bagi peserta didik, namun juga ada dari sisi guru sebagai pendidik. Sinergitas keduanya diharapkan mampu menciptakan suasana pembelajaran yang aman, nyaman, kondusif, menyenangkan dan mencapai target atau goal yang telah ditetapkan di awal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H