Lihat ke Halaman Asli

Betarix polenaran

Penulis dan Pencinta Sastra

Cerpen | Perempuan Malang

Diperbarui: 6 Agustus 2019   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PEREMPUAN MALANG

Betrix Aran

Pagi itu, perempuan bertahi lalat di hidung tidak perlu menebak siapa lelaki sialan yang telah nekad membayar karcis untuk tubuhnya. Ia meraba-raba dompetnya, dua puluh lembar uang berwarna merah melekat di dalam dompetnya." Ah, tubuhku," air matanya lantas meleleh.

Sebuah kompleks pelacuran dengan gedung-gedung elite berjejeran. Beberapa perempuan tampak mondar-mandir dengan selembar kain penutup sebagian tubuh, sebagian lagi asyk merapikan bedak dan mencat kuku. "Aku perempuan bukan wanita yang selalu menjadi dambaan setiap lelaki," perempuan itu berulang kali mengelus-elus dada. Tak seperti biasa, kompleks pelacuran selalu ramai dikunjungi.Para pengunjung dari segala penjuru menghabiskan waktu berjam-jam bahkan sampai berminggu-minggu. Apa yang hendak di buat di gedung bercat merah itu, barangkali hanya orang-orang yang sedang berada di dalam gedung itu yang tahu, dan entalah. Seorang perempuan berusia lima belasan tahun ditemani seorang lelaki berusia empat puluhan tahun, asik cengar cengir di sudut gedung sedang perempuan itu memamah kue dengan cukup santun.

 Lima tahun lalu, aku diseret sekelompok orang dengan paksa ke tempat ini. Di antara jumlah laki-laki yang tak terhitung jumlahnya, bola mataku mengena pada sosok seorang perempuan bertubuh tinggi, berambut ikal, mengenakan kaca mata hitam dan sepatu.

Tubuhku lemas.Mataku pun tidak tahu bagaimana cara harus bertanggung jawab terhadap tubuh- ketika dengan sengaja kupaksa buka. Sebuah kamar sempit, berdinding tembok.

Aku menangis, masa depanku dirampas.Saat itu, aku seperti sedang dihadapkan dengan sebuah malam yang cukup pekat hingga aku tidak lagi menemukan jalan pulang. Tiba-tiba, aku dikagetkan dengan tatapan   wajah seorang  lelaki berkumis tebal, ber-jas mewah, berkulit hitam legam. Merinding bulu kudukku. Tubuhku bergetar"Mau apa kau wahai lelaki? Apakah kau juga ingin memiliki tubuhku," aku meronta-ronta hendak melepaskan diri. "Ha...ha..ha....coba  perhatikan baik-baik," lelaki tua itu membelokkan leherku dengan paksa sembari tangannya menunjuk-nunjuk ke arah karcis. Pakayanku ditanggalkan, air mata membanjiri tubuh mungilku, dua menit berselang tubuhku kaku tak sadarkan diri, selangkangan mewakili tubuhku yang menjadi korban ongkos rayuan pertama. Yang paling aku benci dari lelaki itu adalah mengucapkan janji ingin menikahiku setelah malam itu-menjadi istrinya yang ke lima. Hatiku berbunga-bunga, berharap aku bisa pergi dari tempat berdosa itu.

Perempuan pemilik rumah pelacuran itu menghampiriku dengan wajah berseri-seri. Sesekali dibuka mulutnya lalu menyuruhku mandi dan merapikan diri. " Perempuan terkutuk. Tidak punya hati nurani. Semoga tubuhmu dihargai oleh setiap lelaki yang mendekatimu," begitu kalimat yang selalu menghibur mulutkku. Bola mataku memerah setiap memandang wajah wanita itu. Perasaan selalu bercampur aduk. Inginku obrak-abrik tubuhnya lalu membunuhnya hingga nafas bukan lagi menjadi miliknya. Ku langkahkan kakiku menuju halaman, sebuah sedan merah berlalu dari hadapanku. Lelaki yang menjanjikan masa depan untukku telah pergi. 

"Bagaimana mungkin, aku mencintainya dengan tubuhku? Bagaimanakah perasaannya, menghadapi perlakuan para istri-dengan kehadiran diriku? Ataukah, wajah anak-anakknya yang selalu murung ketika ia menghabiskan waktunya berjam-jam bersamaku di  kamar?. Aku seorang perempuan bukan wanita yang kau maksudkan,"  aku mematut celanakku lalu masuk kembali ke dalam kamarku.

Namaku Josephina. Nama itu terlalu indah untuk disebut orang-orang. Orang tua memberiku nama disaat aku lahir, agar mereka selalu mengenangku dalam ingatan. Begitu kuat mereka mencintaiku, sampai tidak rela tubuhku dipukul atau disentuh dengan kasar oleh siapapun. Aku baru sadar, setelah kehilanganku dari rumah- orang tuaku pun mungkin telah mati dalam kehilangan. Bagi mereka, aku ibarat permata, oleh karena itu mereka merawatku dengan cinta yang paling sulit dibahasakan. Di sebuah kamar nan pengap, aku hanya bisa membayangkan betapa bahagianya hatiku jika harus pergi dari tempat itu.

Di langit mendung tipis menggangtung, aku mencermati dengan diam-diam situasi malam itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline