Lihat ke Halaman Asli

Beta Firmansyah

Hidup dengan menebar manfaat dan kebahagiaan

Rasa Memiliki, Sumber Kerusakan

Diperbarui: 3 April 2021   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


"Merasa Memiliki adalah Sumber Segala Kerusakan." (Basudewa Krisna)

Kepemilikan menjadi isu hangat dalam beberapa disiplin ilmu, satu di antaranya filsafat. Kepemilikan termasuk aksiden bukan substansi. Karena dia tidak ada jika tidak ada substansi. Saya bicara filsafat biar keliatan pernah belajar filsafat. Bukan berarti menguasai. Ini biar keliatan keren aja.

Kepemilikan berarti merelasikan diri kita dengan sesuatu yang lain. Diri kita seolah menguasai sesuatu yang lain. Nah permasalahannya, apa dasarnya kita dikatakan memiliki? Apakah kepemilikan itu objektif ataukah hanya sebatas subjektif relatif? Bukankah secara fakta, diri kita itu terpisah dengan yang lainnya? Apa yang mendasari kita merelasikan diri kita dengan sesuatu yang lain? Jelas itu lahir dari konsepsi kita, i'tibari.

Yah, merasa memiliki terkadang membutakan seseorang. Bahkan jika kepemilikan itu adalah sesuatu yang sakral. Katakanlah klaim kebenaran  paham agama. Orang yang merasa memiliki kebenaran pemahaman agama siap untuk mempertaruhkan jiwa raganya jika memang agamanya terancam. Bahan tidak jarang beragama dengan anarkis pun dilatarbelakangi perasaan kepemilikan terhadap kebenaran.

Padahal, kalo kita analisis kepemilikan mereka itu bukanlah kebenaran secara objektif, tetapi hakikatnya yang mereka miliki adalah klaim atau anggapan kebenaran yang sifatnya i'tibari/relatif. 

Klaim kepemilikan kebenaran itu muncul dari pikirannya. Pikirannya menganalisis dan menyimpulkan bahwa klaimnya yang benar. Lalu bisa dipastikan? Jelas semua tidak bisa memastikannya. Ini problem hermeneutis. Sekali lagi, kalo istilahnya agak aneh, itu hanya keren-kerenan aja.

Begitupun terhadap sesuatu lain, karena merasa memiliki sesuatu itu, dia berusaha mengambilnya sekemampunnya.  Konsekuensinya, jika apa yang dianggap kepemilikannya hilang, seolah sebagian dirinya hilang. 

Mungkin benar pula anjuran agama, bahwa jika sesuatu hilang atau lenyap dari kita maka harus menerima (qana'ah), sabar dna tawakal. Memang kita tidak bisa memastikan apakah ini hanya hiburan semata ataukah yang lainnya. Yah, mungkin filosofinya karena kepemilikan itu tidaklah substansial. Hanya anggap kita saja. Maka kehilangannya pun tidak akan mengurangi substansi kemanusian kita.

Sehingga tak usah kita terlalu memiliki segala hal yang kita punya. Menjaganya memang rasional, tapi untuk menganggapnya bagian dari substansi diri, itu absurd.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline