Lihat ke Halaman Asli

Tentang Seorang Schizoprenic

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore ini, aku ikut larut dalam euforia pesta anak-anak kecil belepotan lumpur yang sedang asyik berjingkrak bersama buliran air hujan yang tak kunjung reda sejak siang tadi. Enam orang bocah itu seakan tak peduli pada demam yang mungkin menanti setelah pesta dengan hujan usai. Mereka terlalu riang bermain hujan di tanah lapang yang kini lebih mirip kubangan lumpur tempat sibuya berendam. Tawa mereka seakan tak henti berderai, memecah derasnya suara hujan. Entah apa yang membuat mereka begitu larut dalam tawa. Mungkin jingkrakan anak-anak itu ku definisikan sebagai tarian hujan, dankini tarian itu telah berubah menjadi perang lumpur. Lumpur tanah lapang itu kini telah menyamarkan warna baju anak-anak itu, mereka terlihat begitu gembira.

Tanpa sadar sesungging senyum telah terpahat di wajahku. Ingin rasanya bergabung bersama mereka. Menari dengan hujan, perang lumpur dan merangkul masa kecilku lagi. Masa kecil? pikiranku seakan tersengat ribuan lebah mengingat 2 kata tadi. Sejenak, memoriku kembali menapaki masa silam.

******

(2003)

“Anak haram!”

“Pergi! Dasar anak haram!”

Terisak, berlari secepat mungkin menghindari suara umpatan yang bahkan tak ku pahami maksudnya. Tapi hati ini sakit mendengar semua itu. Aku merasa tertolak, terasing dan terkucilkan. Nenek menyambutku dengan heran di pekarangan rumah. Beliau berhenti menyapu halaman dan dengan tergesa mengikutiku masuk rumah. Aku masih terisak ketika ku ceritakan umpatan yang di lontarkan teman dan para tetangga kepadaku. Wajah tua itu, meski tampak samar aku masih bisa melihat wajah itu menyiratkan sedih yang mendalam mendengar semua curahan hatiku. Dalam pelukannya, kepalaku begitu jelas merasakan degup jantung nenek yang memburu, berusaha menahan gejolak yang ada. Dibisikannya kata-kata yang sering kudengarsetiap kejadian seperti ini berulang,

“mereka hanya bercanda dan ingin bermain denganmu”, bisik nenek menghiburku. Aku tahu itu bohong, tapi aku lebih memilih diam dan larut dalam isak dan pelukan nenek. Sampai petang kami masih berpelukan dalam diam dan menikmati senja yang tergantikan gelapnya sang malam.

***

Usiaku kini 13 tahun, kelas VII SMP. Mereka masih mengumpatiku anak haram dan belakangan, mereka yang harusnya menjadi temanku menambahkan hinaan yang biasa mereka lontarkan dengan menyebut ibuku pelacur. Pasti gunjingan ibu-ibu mereka yang secara tidak langsung mengajari mereka melontarkan kalimat yang tak pantas itu. Aku tak pernah terbiasa dengan umpatan yang ku terima bertahun-tahun itu. Sakit yang kurasa kian menumpuk dalam batinku. Usiaku semakin bertambah kini aku tahu apa itu anak haram, pelacur dan umpatan lainnya yang sering kudengar.

Pada buku aku bisa bersembunyi, larut dalam untaian kata, kalimat, paragraf-paragraf, akh, semuanya membuatku sejenak lupa akan umpatan manusia-manusia tolol itu. Lewat tulisan-tulisan itu aku terbang menjelajah dunia, dibuatnya aku mengarungi lautan khayal, rasa penasaranku dipermainkan ketika karakter detektif yang kubaca menguak berbagai misteri, bahagiaku timbul ketika cerita yang kubaca berakhir indah, amarahku meledak ketika karakter favoritku dijahati tokoh lain. Semua cerita yang kubaca terus memenuhi otakku, membuatku tak lagi peduli akan nyata yang harus ku lalui.

Karena semua itu, semangat baru muncul dan aku mulai berani memasang mimpiku sebagai hidup yang harus kucapai. Semangat itu menjadikanku anak yang pandai, rajin dan selalu beberapa langkah di depan teman-temanku dalam berbagai mata pelajaran. Sayang, ranking pertama yang kudapat tidak membuat anak-anak itu menjadi lunak padaku. Mereka semakin membenciku karena aku lebih pintar daripada mereka, dunia begitu aneh dan tidak adil bukan?

Ku sadari aku hidup di dunia dimana kebaikan begitu tersudut oleh kecurangan dan kebencian yang setiap detiknya mencari pembenaran atas semua angkara yang telah mereka lakukan. Hidup yang harus kulalui begitu enggan berdamai denganku. Dunia seakan membenciku. Begitu putus asa aku dibuatnya.

Awal September yang dingin, aku semakin merasa jengah berada di kumpulan orang-orang yang secara jelas menolak kehadiranku. Mendung bergelayut di atas kepalaku, memerintahkanku secara tidak langsung untuk bergegas pulang agar tak terjebak hujan. Di perjalanan seusai sekolah bubar aku berpapasan dengan seorang ibu yang entah mengapa tiba-tiba dengan sinis langsung menggumamkan kata-kata umpatan itu, aku hanya terdiam seperti biasanya. Seperti tak puas ibu itu memegang tanganku dan mengatakan lebih jelas kata umpatan itu tepat didepan wajahku, aku berusaha untuk bergeming. Merasa tak di anggap ibu itu menempeleng kepalaku kemudian pergi begitu saja, meninggalkanku dengan isakan perih dan jutaan tanya. Apa salahku??

***

Malam akhir September yang semakin dingin dan sepi. Jengah yang telah lama ku pendam semakin membuncah. Umpatan dan perlakuan kasar terhadapku diputar berulang-ulang di otakku. Semua berkelebat, melesat dengan cepat dan terus berulang-ulang laksana layar raksasa yang tak hanya menjadi tontonan, akan tetapi layar itu berubah menjadi mulut yang begitu besar dan mengejarku untuk dilahapnya. Begitu takut aku dibuatnya. Tak ada tempat lagi untukku berlindung. Pelukan nenek yang dulu selalu ada kini berangsur hilang. Dia semakin tua dan raut mukanya selalu tampak begitu lelah.

Aku lelah dan menyerah.

Hujan deras malam itu menemaniku bercengkrama dengan sepi. Entah ada angin apa tiba-tiba saja ibu pulang ke rumah nenek. Ibu tampak cantik malam itu. Baju dengan motif bunga yang ia pakai membuatnya semakin cantik saja. Ibu membawa banyak oleh-oleh untukku. Mainan, baju-baju, sepatu dan setumpuk makanan yang ia bawa diperuntukan hanya untukku. Aku berpelukan erat dengannya, melepas rindu yang membuncah. Kamipun terlibat dalam obrolan seru dan menyenangkan. Tak pernah aku tertawa senyaring dan selepas ini sebelumnya. Kuceritakan sekolahku, buku-buku yang kubaca dan hobiku. Ia hanya menanggapi semua ceritaku dengan senyuman dan raut wajah yang antusias. Ibu memang pendengar yang baik

Nenek yang sedang memasak bergegas menghampiri kami. Mungkin suara tertawaku dan ibu begitu nyaring dan mengagetkannya. Tapi ketika itu nenek tampak tidak senang dengan kehadiran ibu. Raut mukanya tampak kebingungan. Nenek menyuruhku bergegas tidur. Aku tak bergeming dan memandang ibu, mengharap pertolongan darinya. Nenek tampak tak sabar dan membentakku agar aku segera pergi tidur. Aku tetap tak bergeming. Akhirnya dengan setengah memaksa nenek menarik tanganku agar segera bergegas ke kamar. Aku kesal dibuatnya. Kesal pada nenek dan kesal pada ibu yang tak membantuku dihadapan nenek. Rinduku pada ibu belum terpuaskan. Aku masih ingin bercengkrama dengannya. Tapia apa daya, aku telah diseret nenek ke kamar dan ia mengunci kamarku dari luar. Aku bingung. Esok harinya semua kembali sepi dan ibu kembali pergi.

Tuhan memang maha adil, setelah malam kemarin ibu menjengukku kini bapak telah hadir di hadapanku masih lengkap dengan seragam kerjanya. Kami tak mengobrol banyak malam itu karena nenek kembali menyuruhku untuk tidur cepat seperti kemarin. Aku maklumi sikap nenek, mungkin nenek ingin mengobrol banyak dengan bapak.

Malam berikutnya ketika nenek pergi membeli bahan makanan ibu datang lagi. Aku begitu bahagia bisa melihatnya dating kembali. Tapi, ada yang aneh dengan ibu.Mukanya begitu kusut dan kumal, matanya merah dan tampak tak ramah. Raut mukanya seperti memendam amarah dan yang tak kusangka adalah ia meneriakiku “anak haram!”, berulang-ulang dan begitu keras teriakannya. Aku bingung dan takut. Ku coba menenangkannya, tapi sia-sia ibu semakin tak terkendali. Ibu menjambak rambutkuku, menyeretku, kemudian membantingkan kepalaku ke tembok. Darah segar mengalir melimpah menyamarkan wajahku. Cairan merah itu tak membuatnya kasihan padaku, ibu justru semakin menjadi. Seperti belum puas, ibu kembali membenturkan kepalaku berulang-ulang. Pusing tak terperi mendera kepalaku. Pandanganku memudar, semuanya tampak begitu samar dan kemudian gelap yang kurasa.

Aku masih dapat dengan samar merasakan ketika nenek menghampiriku, berteriak histeris dan memapahku keluar dengan tergesa untuk menemui mantri kampung. Kejadian malam itu begitu samar dan entah mengapa tak begitu kupedulikan lagi. Setiap malamnya aku masih tetap menanti ibu pulang.

Mungkin aku beruntung karena pada suatu malam setelah tiga minggu menunggu ibu pulang tak dinyana justru bapak yang dating. Tapi, bapak tampak bertingkah aneh malam itu. Bapak tampak gelisah dan tak hentinya mondar-mandir didepanku. Raut wajah bapak sama dengan ibu, matanya merah dan tampak menyiratkan kebencian. Dan tanpa sepatah katapun bapak melepas ikat pinggangnya dan mencambukku dengan itu. Permohonan ampun yang terus terucap dari mulutku tak menghentikan cambukan ikat pinggangnya di tubuhku. Bapak berhenti mencambukku ketika tubuhku telah penuh dengan luka lecet dan darah segar mengalir di setiap luka yang bapak ciptakan.

Seakan belum cukup, bapak mengambil silet dan menyayatkannya ke tangan, kaki bahkan wajahku yang masih penuh lebam bekas cambukan ikat pinggang bapak. Rintihanku tak membuat bapak berhenti, ia terus menyayat setiap jengkal kulitku. Tanpa kusadari nenek telah berdiri tak jauh dariku dan menyaksikan apa yang terjadi. Nenek tak membelaku. Nenek diam dan menatapku dengan pandangan nanar. Dan ia hanya bisa menangis menyaksikan itu semua. Suaranya yang parau tak henti-hentinya beristigfar. Ayah semakin di luar kendali ia mengambil gunting jahit nenek, dan merobek daun telingaku. Dunia berputar begitu cepat, aku lemas, gelap.

Hampir setiap hari, sepanjang tahun ayah atau ibu mendatangiku untuk melampiaskan amarah yang tak ku pahami. Sampai akhirnya nenek menyembunyikanku di sebuah rumah putih yang begitu besar dan bersih. Rumah itu memiliki halaman hijau nan asri dan tak jauh dari situ terdapat sebuah tanah lapang tempat anak-anak kampung disekitar rumah putih itu bermain. Rumah putih ini memiliki banyak pelayan yang juga berseragam serba putih dan senyuman tak pernah lepas dari wajah mereka ketika berpapasan denganku. Sebentar saja aku sudah betah di rumah putih itu.

Aku disembunyikan di sebuah ruang kamar yang besar dan nyaman. Sampai saat ini di usiaku yang ke-18 nenek tetap bersikukuh menyembunyikanku dirumah putih ini meskipun sering aku ingin pulang ke rumah. Aku rindu pulang ke rumah nenek.

Setiap hari aku hanya duduk menunggu senja dan memandangi anak-anak kecil bermain di lapangan bola yang tepat berada di seberang rumah putih ini. Aku tak pernah sekalipun keluar dari rumah ini. Keadaan ini membuatku bosan, belum lagi obat-obatan dan suntikan yang entah apa namanya yang harus rutin aku konsumsi. Setiap hari aku menunggu nenek mengatakan situasi sudah cukup aman untuk aku bisa keluar dari rumah putih ini. Di rumah ini banyak orang-orang yang disembunyikan sama sepertiku. Kata nenek, mereka disini untuk menghindari penganiayaan yang selalu menimpa mereka.

*********

Anak-anak itu masih berjingkrak dengan hujan ketika nenek tiba-tiba masuk kekamar dan membuyarkan lamunanku. Aku menghela nafas panjang, ku utarakan keinginanku untuk keluar dari rumah putih ini untuk kesekian kalinya. Nenek berpaling tanda tak setuju. Akhirnya aku berterus terang pada nenek tentang suatu hal. Aku bilang bahwa ibu dan bapak telah menemukanku dan mereka selalu menyelinap datang setiap malam kekamar ini untuk kembali menyiksaku. Kutunjukan luka-luka yang ibu dan bapak buat malam kemarin. Luka sayatan dan lebam yang ada di tubuhku hanya membuat nenek terus membisu, tampak lelah dari raut wajahnya yang keriput. Aku kembali minta pulang karena takut ibu dan bapak akan datang lagi. Nenek tampak jengah, dengan enggan ia berkata “sudahi semua ini!, nenek lelah”. belum sempat ku jawab nenek meneruskan kalimatnya “tak pernah ada ibu ataupun bapak dihidupmu, tak pernahkah kau sadari itu! kau istirahat saja dan lekaslah sembuh”. Emosiku membuncah. Aku marah melihat nenek menyangkal ibu dan bapak yang telah menyiksaku. Aku menyangkalnya habis-habisan dan ku perlihatkan kembali sayatan-sayatan dan lebam di tangan, kaki, perut dan bagian tubuhku yang lain. Nenek mulai menitikan air mata, dengan lirih ia berkata, “Itu lukamu, dibuat oleh mu.. harus berapa ratus kali lagi nenek menjelaskannya kepadamu?”. Nenek menangis, Ku palingkan wajahku menghadap lapangan bola itu lagi, menatap anak-anak kecil yang masih bermain dengan hujan, menerawang angan, kembali tersenyum…

Aku melihat ibu dan bapak Ikut berjingkrak dengan hujan disana, mimik mereka begitu riang. Kerlingan mata ibu dan bapak seakan memancingkuku membuat kisahku yang baru. Aku lelah, Sayatan di tanganku masih terasa sakit. Ibu dan bapak ada didalam diriku, bermain dengan emosi dan kecewa yang bertumpuk. Aku tersenyum, membayangkan kejutan yang akan terjadi nanti malam, sungguh aku tak sabar menanti akhir cerita malam nanti…

Apa itu Schizoprenic?

Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).

Pada pasien penderita, ditemukan penurunan kadar transtiretin atau pre-albumin yang merupakan pengusung hormon tiroksin, yang menyebabkan permasalahan pada zalir serebrospinal.[1]

Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.

75% penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.

Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang mengalami gejala skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke psikiater dan psikolog

Sumber: wikipedia




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline