Lihat ke Halaman Asli

Berty Sinaulan

TERVERIFIKASI

Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Bekas Gedung Bandara Kemayoran Diusulkan Jadi Cagar Budaya

Diperbarui: 12 September 2020   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paparan dalam Diskusi Santai Komunitas Tintin Indonesia. (Foto: KTI)

Kemayoran pernah tercatat sebagai bandara (airport) penerbangan internasional pertama di Indonesia. Sejak dibuka pada 1940, Bandara Kemayoran baru dihentikan pengoperasiannya pada 1985. Saat itu, bandara dipindahkan ke Halim Perdanakusumah dan kemudian ke Cengkareng, yang belakangan diberi nama Bandara Soekarno-Hatta.

Sebagai kawasan bersejarah, baik dalam sejarah penerbangan di Indonesia maupun sejarah perkembangan kota Jakarta, maka tak salah bila pada 1993, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Surjadi Soedirdja, mengeluarkan Keputusan Gubernur No. 475 Tahun 1993 yang menetapkan bekas Menara ATC (Air Traffic Control) atau menara pengawas lalu lintas udara Bandara Kemayoran sebagai salah satu dari sekian banyak Cagar Budaya yang ada di Jakarta.

Belakangan diketahui, ternyata bukan hanya bekas Menara ATC Kemayoran yang perlu dirawat dan dilestarikan sebagai bukti sejarah di Jakarta. Bekas bangunan atau gedung Bandara Kemayoran itu sendiri ternyata mempunyai nilai seni dan sejarah yang cukup tinggi. Sehingga layak pula bila dicatatkan sebagai cagar budaya dan dilestarikan keberadaannya.

Sebagaimana dikatakan Aditya W Fitrianto, bekas bangunan atau gedung Bandara Kemayoran itu dibuat baru pada awal 1960-an untuk menyambut pesta olahraga Asian Games IV Tahun 1962. Di bagian ruang VVIP-nya terdapat relief bertema "Manusia Indonesia" yang mirip dengan relief di Hotel Indonesia dan beberapa bangunan lainnya di Jakarta, termasuk di Gedung Sarinah, yang dibangun menyambut Asian Games IV itu.

"Bung Karno memang menginginkan gedung-gedung baru di Jakarta untuk menyambut Asian Games menampilkan relief tentang budaya dan manusia Indonesia secara modern, jadi tidak semata-mata meniru gaya relief pada candi-candi di masa lampau," tutur Aditya.

Ungkapannya itu disampaikan dalam webinar Diskusi Santai yang diselenggarakan Komunitas Tintin Indonesia (KTI) pada Sabtu, 12 September 2020 melalui aplikasi Zoom. Diskusi santai yang bertemakan "Heritage" itu diikuti para penggemar kisah Petualangan Tintin, serial komik karya komikus Belgia, Herge itu, diikuti oleh para peserta dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk sejumlah penggemar dari luar negeri. Bandara Kemayoran menjadi bagian cerita dari kisah Petualangan Tintin pada serial yang berjudul "Penerbangan 714".

Para narasumber diskusi santai Komunitas Tintin Indonesia. (Foto: KTI)

Selain Aditya, seorang arsitek dan pemerhati pelestarian cagar budaya, juga tampil sebagai narasumber adalah Berthold Sinaulan, arkeolog dan pewarta, serta Suluh Pratitasari, antropolog dan penulis kisah perjalanan. Akrab dipanggil Tita, antropolog itu menambahkan pengamatannya tentang kisah "Penerbangan 714". Dikatakannya kalau diperhatikan, budaya Indonesia juga tergambar dalam kisah itu, misalnya pegawai perempuan di Bandara yang mengenakan sanggul atau pun pelayan restoran yang mengenakan peci atau kopiah.

Pada bagian awal, Berthold Sinaulan yang juga menjadi host bersama Nelwin Aldriansyah dalam acara itu menjelaskan mengenai "heritage" yang padanan katanya dalam Bahasa Indonesia adalah "warisan". Disebutkannya juga tentang warisan yang sebagaimana terdapat dalam daftar UNESCO, terbagi dua, warisan alam dan warisan budaya.

Bila warisan alam adalah berbagai kawasan alam, seperti taman nasional, hutan, pegunungan, gua batu, dan sejenisnya, maka warisan budaya adalah ekspresi cara hidup yang dikembangkan oleh suatu komunitas dan diwariskan dari generasi ke generasi, termasuk adat istiadat, praktik, ekpresi artistik, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Warisan budaya ini bisa berupa warisan budaya benda (tangible heritage) maupun warisan budaya tak benda (intangible heritage). Warisan Budaya Benda yaitu warisan budaya yang berwujud nyata berupa cagar budaya, misalnya peralatan zaman prasejarah (kapak batu, anak panah, dan lain-lain), candi, bangunan keraton, kertas-kertas bersejarah seperti mata uang kertas, prangko, surat perjanjian dan lain sebagainya. Komik-komik karya Herge dan berbagai benda koleksi yang ada di Museum Herge juga merupakan warisan budaya benda.

Sedangkan Warisan Budaya Tak Benda yaitu budaya hidup yang berisi unsur filosofi dan tradisi, yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Saat ini ada sejumlah warisan budaya tak benda Indonesia yang sudah diakui oleh UNESCO, yaitu:  Wayang Kulit, Keris, Batik, Angklung, Tari Saman, Noken, Tiga Genre Tari Tradisi Bali, Kapal Pinisi, Pencak Silat, Subak, dan Gamelan. Di dalam komik Herge juga ada terlihat warisan budaya tak benda, misalnya pakaian-pakaian daerah atau makanan khas, serta adat budaya dari penduduk yang diceritakan di dalam komik itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline