Lihat ke Halaman Asli

Berty Sinaulan

TERVERIFIKASI

Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Kisruh Puisi Indonesia, dari DJA sampai Sukmawati

Diperbarui: 6 April 2018   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejumlah buku kumpulan puisi Indonesia, yang sayangnya belum banyak diminati secara luas. (Foto: BDHS)

Belakangan ini, puisi Indonesia "naik daun", dibicarakan di mana-mana. Seharusnya ini membuat para penyair dan penggiat sastra Indonesia  - khususnya puisi -- menjadi senang. Kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, mulai dari yang menggerutu sampai sumpah serapah yang dilontarkan.

Dua kasus yang mengemuka belakangan ini. Pertama, kasus upaya seorang Denny JA (DJA) untuk mendudukkan dirinya sebagai salah satu tokoh sastra Indonesia terkemuka. Kedua, kasus Sukmawati Soekarnoputri dengan puisinya "Ibu Indonesia".

Bilia yang pertama mungkin hanya ramai di kalangan para sastrawan Indonesia, yang kedua justru ramai sampai hampir ke seluruh lapisan masyarakat. DJA, yang selama ini dikenal sebagai analis survey -- terutama survey politik -- ramai dibahas di kalangan penggiat sastra Indonesia. Sementara Sukmawati Soekarnoputri, ramai dibincangkan dan dihujat sana-sini bukan hanya di dunia sastra Indonesia, tetapi juga di kalangan masyarakat luas.

Baiklah kita bahas satu-persatu. DJA sejak beberapa tahun belakangan mencoba mendudukkan dirinya sebagai salah satu tokoh sastra Indonesia terkemuka. Dia mencoba menjajarkan dirinya dengan para sastrawan hebat, seperti WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Hamka, sampai Sutardji Calzoum Bachri.  Konon kabarnya, dia menyuplai anggaran untuk suatu tim agar menyusun dan menerbitkan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Tentu saja namanya dimasukkan ke dalam buku itu.

Padahal walau dia cukup terkenal dengan analisa-analisa politik sampai membuat berbagai survey politik, di kalangan sastra namanya hampir tak dikenal. Masih kurang dari 10 tahun, dia mulai masuk ke dunia sastra dengan karya-karya sastra yang disebutnya "puisi esai".

Belakangan dia mulai pula membayar sejumlah orang agar menulis karya mengikuti gayanya menulis "puisi esai". Suatu puisi yang bercerita panjang lebar tentang kehidupan masyarakat dan menurutnya cocok disebut puisi esai karena ada catatan kaki. Soal penamaan "puisi esai", para sastrawan Indonesia sebenarnya tak memasalahkan. Selain mengingatkan bahwa gaya penulisan puisi panjang lebar seperti itu sebenarnya bukan hal baru.

Ada misalnya yang disebut prosa liris yang hampir mirip dengan gaya yang disebut DJA dengan "puisi esai". Soal catatan kaki pun bukan hal baru, sudah banyak puisi-puisi yang terbit sebelumnya menyertakan catatan kaki untuk menjelaskan sejumlah kata yang mungkin tak dimengerti secara meluas oleh pembaca umum.

Lalu soal DJA membayar sejumlah orang untuk membuat puisi mengikuti gayanya? Ini pun sebenarnya hampir tak dimasalahkan, kecuali ada yang kurang setuju dengan cara DJA meminta penulis menandatangani kontrak yang menyerahkan seluruh karyanya pada DJA. Menurut beberapa orang, ini mengartikan karya tersebut "dibeli putus" dan menjadi milik DJA. Padahal, karya apa pun hak cipta tetap pada pembuat karya itu. Soal hak penerbitan atau hak menyiarkan, itu soal lain.

Namun yang lebih membuat para sastrawan geram, karena klaim sepihak Denny JA yang mengatakan bahwa "puisi esai" itu adalah genre puisi baru dan para penulis yang mengikuti gayanya telah menjadikan lahirnya angkatan sastra baru, yaitu angkatan "puisi esai". Suatu hal yang dianggap lucu, karena sesungguhnya penyebutan angkatan sastra itu dilakukan oleh para kritikus sastra dan para akademisi yang menggeluti dunia sastra setelah melalui proses panjang. Bukan tiba-tiba diciptakan sendiri oleh orang yang bersangkutan.

Lagipula kalau DJA menyebut telah banyak yang mengikuti gaya menulisnya, sebagian besar sebenarnya mereka menulis karena dibayar oleh bersangkutan, bukan karena memang berminat menulis apa yang disebut "puisi esai". Pada kenyataannya pula, sejumlah orang yang ikut menulis karena dibayar, pada akhirnya menolak ikut terlibat.

Mereka mengembalikan uang yang telah diterima dan menyatakan tidak mau terlibat dalam proyek "puisi esai". Mereka tampaknya sadar dimanfaatkan oleh DJA, agar klaim bahwa gaya menulis "puisi esai" telah banyak diikuti dan pantas disebut telah lahir angkatan sastra baru, yaitu angkatan "puisi esai".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline