Lihat ke Halaman Asli

Berty Sinaulan

TERVERIFIKASI

Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Dalam Novel Star Trek, Indonesia Tak Bubar Malah Maju

Diperbarui: 22 Maret 2018   12:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel

Saat ini ramai dibincangkan setelah menjadi viral di media sosial video Bapak Prabowo Subianto yang membuat pernyataan bahwa Indonesia bakal lenyap pada 2030, berdasarkan sebuah novel fiksi berjudul Ghost Fleet. Kabarnya, Bapak Prabowo mengatakan, "... di negara lain mereka sudah bikin kajian-kajian, di mana RI sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030." Begitulah yang termaktub dalam novel fiksi yang lengkapnya berjudul Ghost FleetA Novel of the Next World War karya PW Singer dan August Cole.

Buku yang dibawa oleh Prabowo dan dipertunjukkan kepada undangan acara bedah buku di Auditorium FEB Universitas Indonesia pada Senin, 18 September 2017 itu adalah sebuah buku novel kisah fiksi setebal 404 halaman yang pertama kali diterbitkan pada 30 Juni 2015 oleh penerbit Eamon Dolan/Houghton Mifflin Harcourt, Amerika Serikat.

Ini sebenarnya peristiwa yang telah cukup lama, sekitar setengah tahun lalu, tetapi menjadi viral karena banyak dibagikan di mana-mana dalam berbagai akun media sosial. Sebagian berpendapat bahwa mengapa Bapak Prabowo mengambil pandangan pesimistis, dari kisah novel fiksi pula, dan bukannya mengambil dari kajian-kajian ilmiah yang ada.

Sebenarnya soal novel yang pasti kisah fiksi --walaupun ada juga novel yang diangkat dari kisah sesungguhnya namun sudah ditambah-tambahi-- bukan persoalan. Hanya sekali lagi, kenapa yang diambil justru pandangan pesimistis seperti itu?

Kalau saja Bapak Prabowo mengenal kisah fiksi ilmiah Star Trek, penjelajahan di luar angkasa yang mengambil setting masa depan, sebenarnya ada satu novel Star Trek yang justru menunjukkan bahwa Indonesia tidak bubar, malahan maju dan makmur. Dalam novel Star Trek First Contact karya JM Dillard, di dalamnya ada bagian yang menggambarkan betapa makmur dan majunya Indonesia.

Di salah satu novel karya Dillard yang terbit pertama kali pada 1996 itu diceritakan ada suatu roket yang faster than light milik Zefram Cochrane yang dibuat atas pesanan The Indonesian Space Agency. Tidak tahu apakah itu adalah lembaga penerus LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) yang ada sekarang atau lembaga baru, namun keberadaan the Indonesian Space Agency membuktikan bahwa di era Star Trek, yaitu di masa depan, Indonesia masih ada dan bahkan terbilang maju kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Sekaligus tentu saja Indonesia telah makmur karena dapat memesan roket canggih yang tentu biayanya tak sedikit.

Halaman novel

Dalam novel itu, Zefram Cochrane sempat berkata, “Do you know how much the Indonesian Space Agency would pay for this faster-than-light rocket?” (Tahukah kamu berapa banyak yang bakal dibayar oleh Lembaga Antariksa Indonesia untuk roket lebih cepat dari cahaya ini?) Itu menunjukkan, berapa besar atau mahal harganya pun, Indonesia sanggup membayar pesanan roket tersebut.

Kisah Star Trek First Contact itu juga telah dijadikan film dengan sutradara Jonathan Frakes. Nama Zefram Cochrane yang disebut-sebut memiliki roket super canggih dan lebih cepat dari cahaya itu, adalah seorang manusia jenius yang merupakan ilmuwan pada abad ke-21 dan berhasil menemukan teknologi warp, yang memungkinkan perjalanan dengan kecepatan lebih tinggi daripada cahaya. Sedangkan yang disebut dengan first contact adalah pertemuan pertama manusia diwakili Zefram Cochrane dengan manusia dari masa depan dan mahluk alien lainnya pada 2063.

Memang, sekali lagi ini hanya cerita fiksi. Tetapi banyak hal-hal yang digambarkan dalam Star Trek akhirnya menjadi kenyataan. Ketika pertama kali filmnya diputar pada 1966, rasialisme antara kulit hitam dan kulit putih serta rendahnya kedudukan perempuan masih menjadi isu di Amerika Serikat dan banyak negara. Tetapi di Star Trek digambarkan seorang kapten kulit putih memadu kasih dengan officer perempuan kulit hitam.

Teknologi-teknologi yang kita kenal kini pun sudah ditampilkan dalam kisah fiksi ilmiah Star Trek puluhan tahun sebelumnya. Misalnya, communicator seperti telepon genggam sekarang, lalu alat suntik tanpa menggunakan jarum, dan juga alat pendengar sekaligus berkomunikasi yang dipasang di telinga. Kini menjadi kenyataan.

Jadi soal mengambil pernyataan dari novel fiksi sebenarnya tak begitu salah. Hanya saja akan lebih baik kalau yang diambil adalah yang menggambarkan masa depan penuh harapan, membuat rakyat menjadi optimistis dan bergerak maju bersama.

(Terima kasih kepada Commander Ismanto Hadi Saputro dari komunitas Indo Star Trek yang telah mengingatkan kembali kisah itu).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline