Lihat ke Halaman Asli

Berty Sinaulan

TERVERIFIKASI

Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Miliaran Rupiah Supaya Jadi Tokoh Sastra?

Diperbarui: 22 Januari 2018   15:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar pribadi

Di antara 1980 sampai awal 2000 - entah sampai kini - sempat marak acara-acara pemilihan "Men of the Year", "Executive of the Year", "Women of the Year", "Enterpreneur of the Year", dan sejenisnya. Acara tahunan itu dilaksanakan berbagai komunitas atau event organizer.

Mereka yang dipilih umumnya ada dua jenis. Pertama, tokoh-tokoh yang memang dianggap berprestasi serta dapat "menarik perhatian" wartawan untuk meliput dan publik untuk melihat acara penganugerahan gelar itu. Kedua, mereka yang "bayar" untuk dijadikan tokoh. Tentu saja adalah kalangan berduit.

Jenis kedua ini ada macam-macam. Ada dari kalangan perorangan, pengusaha swasta, bahkan dari instansi pemerintah yang ingin lebih dikenal luas. Apalagi kalau pada acara penganugerahan, biasanya disertai jamuan makan malam di hotel berbintang, yang hadir sebagai tamu kehormatan dan bakal memberikan penghargaan - bisa medali, plakat, atau sertifikat - adalah pejabat penting seperti menteri atau gubernur.

Orang mau bayar agar jadi tokoh, diliput media dan berfoto dengan pejabat penting. Foto pemberian penghargaan kemudian dicetak perbesar, dipasang dalam pigura, dan dipajang di ruang terhormat milik orang yang dipilih jadi tokoh itu.

Sekarang tampaknya kecenderungan semacam itu juga ditengarai oleh sejumlah sastrawan, khususnya penyair, menanggapi proyek "puisi esai" dari Denny JA (DJA). Selama ini dia dikenal sebagai konsultan publik yang sering merilis hasil-hasil survei, umumnya survei politik.

Sejak kurang dari 10 tahun ini, DJA mencoba masuk ke dunia sastra. Dia mencoba menawarkan sesuatu yang disebutnya "puisi esai", walaupun sebagian sastrawn menganggapnya tidak beda dengan prosa liris yang telah lama dikenal.

Sampai di sini sebenarnya biasa saja. Persoalan muncul ketika DJA membuat dirinya sebagai salah satu tokoh sastra, menyejajarkan namanya dengan mereka yang benar-benar tokoh sastra Indonesia, seperti WS Rendra, HAMKA, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain. Dia mendanai satu tim untuk membuat buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh".

Dia juga mendanai para penulis dan penyair agar mau menulis seperti cara yang disebutnya "puisi esai". Bahkan belakangan dia mencoba mengumpulkan 5 penyair dari tiap provinsi yang tiap orang dibayar Rp 5 juta, agar mau menulis dengan gaya "puisi esai". Untuk honor penulis saja, DJA menyiapkan 5 orang x 34 provinsi x Rp 5 juta yang berarti Rp 850 juta. Itu baru honor penulis, belum honor petugas yang membantu mencari dan mengumpulkan tulisan, serta keseluruhan biaya produksi penerbitan buku.  

Kenapa itu dilakukan? Menurut para sastrawan, ternyata tidak ada yang menulis dengan gaya "puisi esai" DJA. Padahal dia sudah menyebut "puisi esai" sebagai gerakan. Nah, supaya terlihat memang benar gerakan yang banyak ditiru, DJA mendanai agar ada yang mau menulis "puisi esai".

Hal inilah yang ditentang para sastrawan. Kalau mau gaya dan karyanya diikuti banyak orang, buatlah semenarik mungkin agar orang tanpa disuruh pun mengikuti gaya menulis DJA. Bukan dengan cara membayar dan mendanai, apalagi menerbitkan buku seolah-olah dirinya tokoh

Belakangan juga muncul tagar menolak #puisiprabayar. Tagar yang sekadar mengingatkan penulis yang mendapat honor Rp 5 juta, tapi sebelumnya dapat Rp 1 juta dulu sebagai uang muka dan sisanya dibayar setelah naskah selesai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline