Lihat ke Halaman Asli

Berty Sinaulan

TERVERIFIKASI

Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Januari 1946, Ketika Ibu Kota RI Pindah ke Yogyakarta

Diperbarui: 6 Januari 2018   13:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerbong kereta api yang membawa Presiden Soekarno dan rombongan ketika pindah ke Yogyakarta pada Januari 1946. (Foto: uangkertasori.com)

"Djakarta, 05-01-1946. Kepada Jang Terhormat Presiden Repoeblik Indonesia di Iboekota RI, Djogdjakarta". Begitu mungkin awal surat yang dikirim kalau hari ini adalah 5 Januari 1946, atau 72 tahun lalu. Surat yang dikirim dari Jakarta ke Presiden RI, Ir. Soekarno, di Ibu Kota Republik, bukan di Jakarta, tetapi di Yogyakarta.

Ya, mungkin tidak banyak lagi yang tahu atau ingat, bahwa sejak 4 Januari 1946, ibu kota RI telah dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Hal itu karena Jakarta sudah semakin tak aman bagi para pemimpin republik setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Semuanya bermula dari pasukan Belanda yang menyelundup ikut ke dalam pasukan Sekutu yang datang ke Indonesia untuk melucuti tentara Jepang.

Sebelum Indonesia merdeka, Indonesia memang dikuasai Jepang. Setelah Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu pada 15 Agustus 1945, maka Sekutu mulai melancarkan aksi melucuti senjata-senjata tentara Jepang. Datanglah mereka ke Indonesia, yang ternyata diam-diam diikuti tentara Belanda.

Pasukan Belanda mencoba mengambil alih kembali kekuasaan yang mereka miliki sebelum Jepang mengalahkan Belanda dan menguasai Indonesia. Bahkan hanya sebulan lebih setelah Indonesia merdeka, Belanda kembali menduduki Jakarta pada 29 September 1945. Makin lama kondisi makin tidak kondusif bagi pemerintahan RI di Jakarta.

Maka 2 Januari 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirim surat kepada Presiden Soekarno yang ada di Jakarta, untuk memindahkan ibu kota republik ke Yogyakarta. Ini adalah kisah heroik Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang kesekian kalinya, menunjukkan cintanya pada Republik Indonesia. Ketika Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan di Jakarta pada 17Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam, dua pemimpin keraton di Yogyakarta, adalah yang pertama menyatakan kesetiaannya masuk menjadi bagian RI.

Maka ketika datang surat dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Bung Karno tidak ragu lagi. Dia setuju, dan esok harinya pada 3 Januari 1946, sebuah gerbong kereta api yang disambung pada lokomotif uap sudah berada di rel kereta api di belakang rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. 

Saat ini jalur rel kereta itu masih ada, tepat berada di belakang Gedung Pola, gedung yang dibangun di lahan bekas rumah Bung Karno, yang kini jalannya dinamakan Jalan Proklamasi. Setiap orang yang naik kereta api dari arah Stasiun Gambir menuju Stasiun Manggarai dan sebaliknya, pasti melewati belakang Gedung Pola dan melintasi rel kereta api tersebut.

Gedung Pola atau lengkapnya Gedung Pola Pembangunan Semesta Berencana itu kini diberi nama Gedung Perintis Kemerdekaan. Di halamannya juga ada tugu dan patung Proklamator Bung Karno dan Bung Hatta. Sedangkan di belakangnya, jalur rel kereta api itu masih setia digunakan untuk melayani laju kereta api yang menuju Stasiun Gambir dari arah Stasiun Manggarai dan sebaliknya. Walaupun tentu saja, besi rel dan beton penyangga telah berkali-kali diganti untuk menjaga keamanan dan kenyamanan laju kereta.

Begitulah, lokomotif dan gerbong tersebut membawa Bung Karno dan rombongannya dan akhirnya tiba dengan selamat di Stasiun Tugu pada 4 Januari 1946. Pada saat itu jugalah, ibu kota negara RI dinyatakan dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline