Pelaksanaan pemugaran Masjid Angke atau lengkapnya bernama Masjid Jami' Al-Anwar Angke di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, yang telah mencapai usia 256 tahun, berhasil menemukan kembali secara lengkap anak-anak tangga asli masjid itu di pintu depan serta di pintu samping kiri dan kanan. Selama ini secara kasat mata diketahui Masjid Angke hanya memiliki tiga anak tangga. Sementara dari catatan-catatan sejarah yang ada, dituliskan bahwa masjid yang dibangun pada hari Kamis 26 Sya'ban 1174 H atau pada 1761 masehi itu seharusnya memiliki lima anak tangga.
Pelaksanaan pemugaran itu dilakukan secara swadaya dan swadana oleh Lingkar Warisan Kota Tua Jakarta yang disingkat Lingwa. Masjid Angke menjadi proyek pertama memugar bangunan tua yang dilakukan oleh Lingwa, organisasi nonpolitik dan nonprofit yang didirikan di Jakarta tahun lalu.
Diketuai oleh Prof. Dr. Toeti Heraty N. Rooseno, Lingwa merupakan perkumpulan pemerhati Kota Tua Jakarta, yang mengikuti semangat dan keprihatinan terhadap perkembangan dan tindak lanjut proyek revitalisasi Kotatua Jakarta. Lingwa didirikan atas amanat arsitek senior yang juga pelestari bangunan bersejarah, almarhum Han Awal, yang sempat merintis adanya perkumpulan tersebut.
Pemilihan Masjid Angke, karena masjid itu termasuk salah satu masjid tertua di Jakarta. Di samping itu, pada masjid ini juga menjadi bukti sejarah bahwa sejak zaman dulu telah terjadi percampuran berbagai suku bangsa di Indonesia. Hal itu antara lain disajikan oleh Tjut Nyak Kusmiati, seorang arkeolog lulusan Universitas Indonesia dalam skripsinya yang berjudul "Mesjid Angke, Tinjauan Ilmu Bangunan, Seni Hias dan Seni Ukir" yang dihasilkan pada 1976.
Menurut arkeolog tersebut, arsitektur Masjid Angke merupakan gabungan dari gaya arsitektur Indonesia kuno dan gaya arsitektur Eropa. "Kaki bangunan yang bersifat massif mengingatkan kita kepada bangunan suci Indonesia sebelum Islam, yaitu candi," tulis Tjut Nyak Kusmiati pada skripsinya.
Ditambahkan lagi oleh Tjut Nyak Kusmiati, hal serupa, juga terlihat pada tangga dan pipi tangga. Sementara jendela yang berterali, mengingatkan pada gaya rumah Belanda. Sementara menurut arkeolog tersebut, gaya arsitektur Tiongkok juga terlihat pada sokoguru masjid tersebut. "Gaya arsitektur sokoguru ini mengingatkan kita pada gaya arsitektur rumah Belanda di Jakarta dan gaya arsitektur Cina," tulisnya.
Sedangkan mengenai mihrab yang merupakan tempat imam memimpin salat berjamaah, gaya arsitekturnya mengingatkan pada gaya arsitektur bangsa Moor, yaitu kaum Muslim dari zaman pertengahan yang tinggal di Al-Andalus, di Semenanjung Iberian termasuk Spanyol dan Portugis zaman sekarang, dan juga di Maroko serta Afrika Barat.
Tujuh lapis cat
Selain temuan anak tangga yang ternyata masih lengkap, ketika pelaksana pemugaran saat ini,seperti disaksikan pada Kamis, 7 September 2017 pagi hari, melakukan pengelupasan cat dari kayu-kayu pintu, ditemukan sekurangnya ada tujuh lapis cat yang pernah menempel di pintu-pintu tersebut, terutama di pintu depan masjid.
Pengelupasan cat lama itu dilakukan, sebelum pintu masjid "dipulihkan" sebagaimana aslinya. Bila dari temuan yang ada lapisan cat pertama dan seterusnya berwarna cokelat, maka lapisan cat terakhir yang ditemukan paling bawah menempel pada kayu berwarna hijau. Masih diteliti apakah cat berwarna hijau itu hanya cat pelapis saja atau memang itulah cat yang dikuaskan di pintu kayu itu pada awalnya.
Dalam pelaksanaan pemugaran tersebut, Lingwa telah berkonsultasi dan mendapat persetujuan dari Tim Sidang Pemugaran (TSP), suatu badan yang dibentuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memberikan arahan agar pelaksanaan pemugaran bangunan-bangunan cagar budaya dan bersejarah di Jakarta, dapat sesuai dengan prinsip-prinsip dan kaidah ilmiah.
Kebetulan pula di dalam Lingwa terdapat dua arkeolog berpengalaman, masing-masing Prof. Dr. Mundardjito yang merupakan Penasehat Lingwa, dan Candrian Attahiyyat, pakar Kotatua Jakarta yang telah puluhan tahun menggeluti bangunan-bangunan bersejarah di Jakarta. Kedua arkeolog senior itu juga menjadi anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) yang dibentuk oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Di samping itu, ada juga sejumlah arsitek dan orang-orang yang memang menaruh kepedulian terhadap benda cagar budaya, khususnya di Jakarta. Misalnya ada Maria Francisca yang dalam pelaksanaan pemugaraan kali ini, turun tangan langsung di lapangan. Juga ada Yori Antar, anak Han Awal, dan biro arsiteknya yang membantu penuh pelaksanaan pemugaran tersebut. Lainnya adalah Tamalia Alisjahbana dan Berthold Sinaulan.