Lihat ke Halaman Asli

Berty Sinaulan

TERVERIFIKASI

Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Modernisasi Ikut Timbulkan Kerusakan Situs Purbakala

Diperbarui: 10 Mei 2017   20:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dr. Junus Satrio Atmodjo (kelima dari kiri) bersama para penguji, promotor, dan co-promotornya. (Foto: Watty Yusman)

Modernisasi menghasilkan sesuatu yang positif, namun sekaligus tak jarang juga menyebabkan dampak yang negatif. Paling tidak itulah yang tercermin dalam disertasi Junus Satrio Atmodjo, yang memperoleh gelar doktor bidang arkeologi dengan predikat sangat memuaskan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, 10 Mei 2017.

Menampilkan judul “Lanskap Permukiman Rawa Pesisir Masyarakat Jambi Abad XI-XIII”, Junus Satrio Atmodjo yang juga Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) sejak 2011, berhasil mempertahankannya dengan gemilang di hadapan sidang dewan penguji yang dipimpin langsung Dekan FIB UI, Dr. Adrianus L.G. Waworuntu, MA. Dewan penguji terdiri dari Prof. Dr. Mundardjito, Prof. Dr. Agus Aris Munandar, Dr. Wanny Rahardjo, Dr. Supratikno Rahardjo, dan penguji tamu Dr. Riwanto Tirtosudarmo. Bertindak selaku promotor adalah Dr. Ninie Susanti dengan co-promotor Dr. Wiwin Djuwita Ramelan.

Modernisasi  walaupun tidak dikemukakan dengan istilah tersebut, disinggung oleh Junus Satrio ketika mengemukakan program transmigrasi yang dilakukan Pemerintah sejak 1970-an, yang telah menyebabkan perubahan cepat di wilayah timur Jambi. Selain upaya positif meratakan penduduk di Indonesia lewat program transmigrasi, ternyata seperti diungkapkan Junus Satrio, “meninggalkan persoalan-persoalan baru yang semula belum disadari dampaknya”.

Dr. Junus Satrio Atmodjo beserta istri dan anak-anak. (Foto: Watty Yusman)

Dijelaskannya, “Di antara persoalan yang serius adalah rusaknya banyak situs purbakala yang semula belum diketahui keberadaannya. Penggalian besar-besaran parit irigasi oleh pemerintah maupun masyarakat secara perlahan telah menghancurkan warisan budaya kuno yang rentan gangguan karena berusia tua setelah ratusan tahun berada di lingkungan basah”.

Bukan itu saja. “Keadaan semakin memprihatinkan dengan munculnya keinginan sebagian anggota masyarakat untuk mencari, menemukan, dan menjualnya guna memperoleh keuntungan komersial dari ‘barang-barang antik’ yang banyak diminati para kolektor seni dan benda bersejarah”.

Meski pun Junus tidak menyebut bahwa penggalian dan penjualan artefak-artefak bersejarah itu merupakan dampak modernisasi, namun bisa dikatakan semakin dinilai berharganya benda seni dan bersejarah di dunia modern ini, sedikit banyak membuat “perburuan” benda-benda bersejarah menjadi semakin sering.

Untuk itulah, Junus yang pernah menjadi Direktur Peninggalan Purbakala dan Staf Ahli Menteri pada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mengharapkan perlu terus ditingkatkan frekuensi penelitian dan penyebarluasan hasil penelitian di kawasan tersebut. “Dengan meningkatkan frekuensi penelitian dan penyebarluasan hasil penelitian diharapkan kerugian yang harus ditanggung oleh generasi mendatang dapat ditekan,” jelasnya.

Ditambahkannya lagi, “Informasi yang dihasilkan dari penelitian tersebut dapat membantu masyarakat meningkatkan pemahaman mereka akan sejarah panjang yang sudah dilalui bangsa Indonesia sampai dengan hari ini”.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline