Jangan salah sangka. Restorasi yang ditulis di sini tidak ada hubungannya dengan makanan. Bukan gerbong Restorasi Kereta Api (KA) atau pun restoran yang menyajikan berbagai jenis makanan. Restorasi yang dimaksud di sini adalah seperti disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu “pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula (tentang gedung bersejarah, kedudukan raja, negara) atau pemugaran”.
Itulah yang saat ini tengah diupayakan oleh Lingkar Warisan Kotatua Jakarta, yang disingkat dengan nama Lingwa. Diketuai oleh Prof. Dr. Toeti Heraty N. Rooseno, Lingwa merupakan perkumpulan pemerhati Kotatua Jakarta, yang mengikuti semangat dan keprihatinan terhadap perkembangan dan tindak lanjut proyek revitalisasi Kotatua Jakarta. Lingwa didirikan atas amanat arsitek senior yang juga pelestari bangunan bersejarah, almarhum Han Awal, yang sempat merintis adanya perkumpulan tersebut.
Sejak didirikan tahun lalu, Lingwa telah ikut berkontribusi pada upaya pelestarian Kotatua Jakarta. Salah satu langkah yang kini masih dikerjakan adalah upaya merestorasi Masjid Angke atau lengkapnya kini bernama Masjid Jami Al-Anwar Angke. Masjid tersebut beralamat di di Jalan Pangeran Tubagus Angke Gang Mesjid I, RT 001/RW 05, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Dari data sejarah yang berhasil dikumpulkan, Masjid Angke didirikan pada hari Kamis 26 Sya’ban 1174 H atau pada 1761 Masehi. Melihat waktu pendiriannya, masjid tersebut kini sudah berusia lebih dari 250 tahun. Bahkan termasuk salah satu masjid tertua di Jakarta yang masih ada dan digunakan sebagaimana fungsinya.
Masjid itu sempat terbengkalai dan tidak digunakan, namun kemudian diperbaiki dan dimanfaatkan lagi oleh masyarakat sekitar. Dalam skripsi berjudul “Mesjid Angke, Tinjauan Ilmu Bangunan, Seni Hias dan Seni Ukir” karya Tjut Nyak Kusmiati yang ditulisnya untuk mencapai gelar Sarjana Sastra Bidang Arkeologi di Universitas Indonesia pada 1976, antara lain disebutkan pula bahwa pernah ada pemugaran pada 1919, 1951, dan 1960 oleh warga setempat. Kemudian pada 1970 kembali dilakukan pemugaran, kali ini oleh Dinas Museum DKI Jakarta. Karena skripsi ini dibuat pada 1976, maka hanya itu yang dicatat. Namun Wakil Ketua I Lingwa, Candrian Attahiyyat yang puluhan tahun mengabdi mengurus peninggalan sejarah dan purbakala di DKI Jakarta, menginformasikan bahwa setelah 1976 masih ada lagi beberapa kali pemugaran terhadap Masjid Angke.
Sayangnya, kondisi masjid tersebut saat ini sudah memprihatinkan. Paling parah adalah kondisi atapnya. Dari luar mungkin kelihatan biasa saja, tetapi bila kita memasuki masjid dan naik ke loteng untuk mengecek atapnya, maka kita harus amat berhati-hati. Kayu-kayu yang menjadi lantai loteng sudah lapuk. Lebih berbahaya lagi, tiang-tiang kayu yang menyangga atap juga sudah cukup “kritis” keadaannya. Dikhawatirkan, bila ini dibiarkan begitu saja, maka tiang dan lantai loteng akan hancur, dan atapnya pun akan ikut ambruk menimpa bagian bawah masjid.
Terdorong oleh upaya merestorasi bangunan itu, Lingwa telah beberapa kali mengadakan survei. Beberapa desain restorasi juga telah dikerjakan gambarnya oleh arsitek Yori Antar, anak Han Awal yang kini meneruskan biro arsitek ayahnya. Bukan hanya itu. Lingwa juga telah beraudiensi dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, memberi tahu aktivitas yang sedang dikerjakan.
Selanjutnya, perkumpulan tersebut juga telah menghubungi Tim Sidang Pemugaran (TSP) DKI Jakarta. TSP adalah tim yang dibentuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang bertugas mengkaji dan mengarahkan semua kegiatan perencanaan konservasi, renovasi, restorasi, dan revitalisasi Cagar Budaya di DKI Jakarta.
Empat Prinsip Restorasi
Senin, 6 Maret 2017, Lingwa kembali berkumpul di Masjid Angke. Pada pertemuan itu, hadir pula Dutabesar Bosnia dan Herzegovina untuk Republik Indonesia, Muhamed Cengic, yang menaruh perhatian besar pada peninggalan-peninggalan bersejarah di Indonesia. Di samping itu, Lingwa juga mengundang Hubertus Sadirin, ahli konservasi dan restorasi yang pernah lama ikut dalam proyek pemugaran Candi Borobudur.
Sadirin mengungkapkan sedikitnya ada empat prinsip restorasi yang harus dipenuhi dalam memugar bangunan bersejarah. Pertama, otentisitas material, yang artinya kalau perlu melakukan restorasi diupayakan sedapat mungkin menggunakan bahan asli, atau kalau pun terpaksa mengganti bahan asli, diusahakan yang sama jenis dan kualitasnya. Misalnya, penggantian bahan kayu jati, diusahakan dengan kayu jati yang kualitasnya sama pula.