Lihat ke Halaman Asli

Berty Sinaulan

TERVERIFIKASI

Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Perpustakaan, Tempat untuk Menemukan "Akar" Diri

Diperbarui: 6 Maret 2017   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Majalah

Menjalankan profesi sebagai pewarta selama lebih dari 30 tahun, saya hampir saja tak tahu bahwa bakat dan hobi menulis dan mengirim berita yang kemudian menjadi karier sebagai pewarta itu, ternyata menurun dari ayah sendiri. Selama ini, saya mengira ayah saya yang bernama lengkap Frits Willem Sinaulan atau sering disingkat F.W. Sinaulan, hanyalah seorang pegawai negeri yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya menjadi abdi masyarakat di bidang perindustrian dan perdagangan saja.

Namun hal itu berubah, sekitar dua atau tiga tahun lalu. Semuanya bermula dari kunjungan saya ke Perpustakaan Nasional RI (PNRI) di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat. Ya, perpustakaan yang mengubah perkiraan saya dan memberi informasi mengenai bakat dan hobi menulis yang saya miliki.

Sudah lama kita tahu bahwa perpustakaan adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan.Koleksi buku-buku maupun dokumen lainnya yang ada di perpustakaan, dapat membantu kita untuk lebih mengenal dan mendalami tentang suatu hal. Baik tentang ilmu tertentu atau pun catatan-catatan sejarah yang bermanfaat bagi manusia.

Saya sendiri merasakan benar betapa bermanfaatnya kehadiran perpustakaan. Sejak kecil saya sudah senang membaca, dan perpustakaan menjadi tempat yang nyaman untuk memperoleh bacaan-bacaan menarik. Ketika sekolah, beberapa informasi untuk mata pelajaran pun saya peroleh dari perpustakaan. Apalagi ketika mahasiswa, makin sering saya mendatangi perpustakaan.

Kebetulan, saat itu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) masih berada di dalam gedung Museum Pusat namanya saat itu. Sekarang museum itu dikenal dengan nama Museum Nasonal Indonesia (MNI), walau pun masih ada juga yang menyebutnya sebagai Museum Gajah, karena adanya patung gajah persembahan Raja Siam (Thailand) yang diletakkan di depan museum yang terletak di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat tersebut.

Patung gajah di depan Museum Nasional Indonesia. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)

Sebagai mahasiswa Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra (sekarang namanya Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia, mengunjungi MNI yang banyak menyimpan benda-benda arkeologi dari berbagai daerah di Indonesia, bisa dikatakan sudah menjadi kewajiban yang tak bisa dihindari. Kehadiran PNRI di dalam gedung museum itu, sungguh membantu. Saat mempelajari arca, prasasti, maupun benda-benda arkeologi lainnya di sana, sekaligus dapat pula mencari referensinya dari buku dan dokumen yang ada di perpustakaan. Bagaikan pepatah, “sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui”.

Setelah PNRI mempunyai gedung sendiri yang megah di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, saya pun masih sering berkunjung ke sana. Apalagi setelah tahun 2000-an, ketika menjelang peringatan 100 tahun gerakan kepanduan sedunia pada 2007. Terdorong oleh semangat mencari data sejarah kepanduan di Indonesia, saya memanfaatkan suratkabar lama dan majalah-majalah kepanduan yang terbit sejak zaman Hindia-Belanda, untuk mencari data.

Aktivitas pencarian data untuk penulisan sejarah kepanduan makin gencar saya lakukan saat menjelang 50 tahun Gerakan Pramuka pada 2011 dan 100 tahun dimulainya gerakan kepanduan di bumi Nusantara pada 2012. Demikian pula ketika saya diminta membantu penulisan buku oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi DKI Jakarta pada 2015, kehadiran saya di PNRI menjadi semakin sering. Ditambah lagi dengan mengunjungi perpustakaan yang dikelola BPAD DKI Jakarta di dalam kawasan Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat.

Siapa Menyangka

Tak dapat disangkal, kehadiran perpustakaan memang benar-benar membantu karier dan aktivitas saya sebagai pewarta. Namun siapa pula yang menyangka, bahwa dari perpustakaan juga saya akhirnya tahu bahwa bakat dan keterampilan menulis yang saya miliki tidak datang dengan sendirinya.

Ibu dan ayah saya dalam lukisan buatan 1996. (Foto: Ruth Sinaulan)

Selama ini saya mengira di keluarga kandung, hanya saya sendiri yang menekuni dunia jurnalistik. Kalau pun ada saudara yang juga sama-sama menjadi pewarta adalah saudara dari garis keturunan ayah maupun ibu, tetapi bukan merupakan saudara kandung. Dari garis keturunan ayah, antara lain paman saya, Hans Sinaulan. Sedangkan dari garis keturunan ibu, beberapa saudara sepupu saya, yaitu kakak-beradik, Daud Sinjal, Isaac Sinjal, dan John Sinjal. Semuanya pernah berkiprah di penerbitan yang dikelola PT Sinar Kasih, yaitu Harian Umum Sinar Harapan (belakangan berubah nama menjadi Suara Pembaruan) dan tabloid mingguan Mutiara.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline