“Hadiri Peringatan Hari Pers Nasional 2017, Presiden Jokowi Bertolak ke Ambon”, demikian judul berita di Kompas.com pada 8 Februari 2017. Dalam berita itu juga disebutkan, Presiden berangkat dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma Jakarta Timur, menggunakan pesawat kepresidenan.
Setiap kali Presiden menghadiri acara bisa dikatakan selalu diliput wartawan. Apalagi acara kali ini Hari Pers Nasional yang terkait dengan kehidupan para wartawan. Selain wartawan umumnya, ada juga kelompok wartawan yang memang sehari-harinya meliput aktivitas Presiden. Mereka inilah yang disebut dengan wartawan Istana.
Di kalangan teman-teman wartawan, mereka yang menjadi wartawan Istana sering dianggap lebih hebat dari yang lainnya. Apalagi di zaman Orde Baru, mereka yang mau menjadi wartawan Istana, harus melalui seleksi yang cukup ketat. Wartawan Istana, kelompok wartawan yang “mangkal” di Istana dan meliput kegiatan kepresidenan, tak pelak dianggap sebagai wartawan elite di Tanah Air.
Menjadi wartawan Istana seolah mendapat keistimewaan tersendiri. Bisa dekat dengan Presiden (dan Wakil Presiden), serta para pejabat negara lainnya. Mereka juga sedikit lebih diistimewakan dalam meliput kegiatan kepresidenan, termasuk diajak ke daerah dan bahkan ke luar negeri, saat Presiden berkunjung ke sana.
Dari sisi penampilan pun wartawan Istana lebih rapi. Sering menggunakan batik lengan panjang, dan bahkan ketika masa Orde Baru, cukup sering menggunakan setelan jas lengkap dengan dasi bagi para wartawan pria yang meliput acara Presiden. Keistimewaan mendapatkan uang saku bila mengikuti Presiden berkunjung ke daerah atau luar negeri, juga membuat posisi wartawan Istana menjadi diminati banyak pewarta. Bahkan dalam rombongan Presiden yang ke daerah atau ke luar negeri, wartawan Istana juga mendapat kendaraan yang cukup “mentereng”. Bahkan kalau ke luar negeri, seringkali satu pesawat dengan Presiden.
Walaupun ada juga wartawan yang menolak ditempatkan di “pos” Istana, dan lebih memilih meliput berita-berita kriminalitas yang cukup berbahaya bagi keselamatan jiwa sang wartawan itu sendiri. Mereka lebih senang mengunakan baju bahkan T-shirt dan celana jeans saat meliput berita. Kalau wartawan Istana mungkin lebih banyak di ruang yang nyaman dan berpendingin udara, maka wartawan lain lebih sering di lapangan, berada di bawah terik matahari, dan menyusuri jalan-jalan becek untuk mengunjungi sumber berita.
Meski pun saat ini, wartawan Istana pun kerap harus berjalan di bawah terik matahari, kehujanan, dan menyusuri jalan-jalan becek, saat mengikuti Presiden Joko Widodo yang gemar “blusukan” ke sana ke mari.
Kerajaan Majapahit
Bagi saya pribadi, yang puluhan tahun berkarier sebagai wartawan – walaupun tidak pernah menjadi wartawan Istana – dengan latar belakang pendidikan arkeologi atau oleh umum lebih dikenal dengan ilmu kepurbakalaan, soal wartawan Istana sebenarnya dapat saya telusuri sejarahnya. Bahkan itulah yang menjadi skripsi saya ketika mencapai gelar sarjana sastra bidang arkeologi (S-1) di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia pada 1985.
Skripsi saya berjudul “Nagarakrtagama Sebuah Tinjauan Jurnalistik”. Bagi yang belum tahu, Nagarakrtagama adalah karya sastra kuno berbentuk kakawin, semacam puisi yang mendapat pengaruh dari kesusastraan India, dan antara lain setiap bait terdiri dari empat baris yang ukuran iramanya sama. Itulah sebabnya Nagaraktragama sering juga disebut Kakawin Nagarakrtagama.
Adalah Mpu Prapanca yang menulis Kakawan Nagarakrtagama di atas lempengan daun lontar pada 1365, yang isinya menceritakan tentang Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Seperti diketahui, Majapahit adalah salah satu kerajaan besar yang pernah ada Indonesia, yang berpusat di daerah yang kini dikenal sebagai Jawa Timur. Kerajaan itu berdiri pada 1293 dan bertahan sampai sekitar tahun 1500.