Di sela-sela kesibukan rapat Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), organisasi profesi untuk para arkeolog di Indonesia, beberapa waktu lalu, penulis dan Kompasianer, Djulianto Susantio, memberitahu bahwa dia berhasil mengakses dan mengunduh skripsi sarjana arkeologi yang terkait Masjid Angke dari situs web Universitas Indonesia. Djulianto tahu bahwa saya dan arkeolog serta pakar sejarah kotatua Jakarta, Candrian Attahiyyat, sedang terlibat dalam upaya mencoba menyelamatkan Masjid Angke.
Skripsi tersebut berjudul “Mesjid Angke, Tinjauan Ilmu Bangunan, Seni Hias dan Seni Ukir” yang merupakan skripsi dari Tjut Nyak Kusmiati untuk mencapai gelar Sarjana Sastra Bidang Arkeologi di Universitas Indonesia pada 1976. Sebagai bagian dari pengurus Lingkar Warisan Kota Tua Jakarta (Lingwa) yang sedang mempersiapkan untuk melakukan perbaikan dan penyelamatan Masjid Angke, tentu saya gembira mendapat data tambahan yang cukup penting ini.
Dari skripsi tersebut diketahui antara lain bahwa Masjid Angke didirikan pada hari Kamis 26 Sya’ban 1174 H atau pada 1761 Masehi. Melihat waktu pendiriannya, masjid yang terletak di Kampung Angke, Tambora, Jakarta Barat itu, sudah berusia lebih dari 250 tahun.
Mengenai tahun pendirian Masjid Angke dapat diperoleh dari hiasan-hiasan kaligrafi yang terdapat pada ambang pintu bagian Timur. Di situ antara lain tertulis dalam Bahasa Arab dan setelah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, seperti dikatakan Tjut Nyak Kusmiati, berarti “...dan adapun kalimat ini tertera pada batu tulis sebagai peringatan mesjid Al Mubarrak, hari Kamis, 26 hari bulan sya’ban tahun 1174 dari hijrah nabi”.
Masjid ini memang pernah dinamakan Masjid Al-Mubarak, tetapi seperti dikutip dari Oud Bataviakarya F de Haan yang merupakan buku rujukan terbitan 1921 untuk meneliti sejarah Kota Jakarta, penduduk setempat lebih mengenalnya dengan nama Masjid Angke atau Masjid Kampung Bali. Daerah itu pada masa lalu memang merupakan perkampungan orang Bali yang ada di Batavia (nama Jakarta sewaktu masih dalam kekuasaan kolonial Belanda). Belakangan, nama Al-Mubarak juga tak dikenal lagi. Kini, sebagaimana dapat dilihat di papan pengumuman, nama masjid itu adalah Masjid Jami’ Al-Anwar Angke.
Bila kita sekarang berkunjung ke Masjid Angke, di sana terdapat beberapa foto masjid itu yang diambil dari masa lalu. Termasuk foto-foto masjid tersebut yang diambil dari buku Oud Batavia. Seperti disebutkan Tjut Nyak Kusmiati, tampaknya memang baru dari buku F de Haan itulah diperoleh data yang cukup lengkap tentang Masjid Angke.
Dibandingkan dengan catatan François Valentijn, seorang misionaris dari Belanda yang juga seorang naturalis dan penulis buku Oud en Nieuw Oost-Indiën terbitan 1727. Sang misionaris menuliskan bahwa di tepi Sungai Angke ada benteng VOC, tetapi dia tak menyebutkan sama sekali adanya bangunan masjid. Jadi jelas pada masa Valentijn membuat catatan, masjid itu belum ada.
Selain dari skripsi tersebut, Wakil Ketua II Lingwa, Tamalia Alisjahbana dalam artikelnya berjudul “Apakah Masjid Angke sama dengan Masjid Kampung Rawa Bebek” yang dibagikan kepada para pengurus Lingwa pada rapat perkumpulan tersebut di Jakarta, 30 Januari 2017, menyalin ulang catatan 1118 pada halaman 67 Oud Batavia karya F de. Haan. Di situ dituliskan, “Beberapa orang pribumi menyukai gaya rumah Belanda tercermin dengan paling jelas pada beberapa masjid lama antara lain masjid yang bentuknya sangat indah di Kampung Bali Angke yang terletak di sebelah utara Benteng Vijfhoek yang dibangun pada 1761...”.
"Melting Pot"
Memang salah satu keindahan Masjid Angke pada ukiran ragam hias yang terdapat di bagian atas serta kiri dan kanan pintu masuk utama. Secara keseluruhan, keberadaan bangunan masjid ini menjadi penting bukan saja karena usianya yang sudah dua setengah abad lebih. Tetapi juga karena arsitektur bangunannya sendiri merupakan pencampuran dari berbagai gaya, mengingatkan bahwa Batavia yang sekarang menjadi Jakarta, memang merupakan melting pot atau “kuali peleburan”, suatu istilah yang dijadikan metafora untuk menunjukkan percampuran berbagai elemen budaya yang menjadi satu ketika satu sama lain bertemu di satu tempat.
Tjut Nyak Kusmiati menyebutkan bahwa arsitektur bangunan itu merupakan gabungan dari gaya arsitektur Indonesia kuno dan gaya arsitektur Eropa. “Kaki bangunan yang bersifat massif mengingatkan kita kepada bangunan suci Indonesia sebelum Islam, yaitu candi,” tulis Tjut Nyak Kusmiati pada skripsinya.
Hal serupa, tambah penulis skripsi itu, juga terlihat pada tangga dan pipi tangga. Sementara jendela yang berterali, kata Tjut Nyak Kusmiati, mengingatkan pada gaya rumah Belanda. Namun Tjut Nyak Kusmiati menyebutkan bahwa gaya arsitektur Tiongkok juga terlihat pada sokoguru masjid tersebut. “Gaya arsitektur sokoguru ini mengingatkan kita pada gaya arsitektur rumah Belanda di Jakarta dan gaya arsitektur Cina,” tulisnya.
Sedangkan mengenai mihrab yang merupakan tempat imam memimpin salat berjamaah, gaya arsitekturnya mengingatkan pada gaya arsitektur bangsa Moor. Mereka yang disebut Moor, sebagaimana dikutip dari sumber lain, adalah orang Muslim dari zaman pertengahan yang tinggal di Al-Andalus (Semenanjung Iberian termasuk Spanyol dan Portugis zaman sekarang) dan juga Maroko dan Afrika Barat, yang budayanya disebut Moorish.
Orang Tionghoa
Sampai sekarang, pada komplek Masjid Angke terdapat sejumlah makam. Di antaranya makam orang-orang Tionghoa yang masuk Islam. Termasuk makam Syeh Liong Tan, yang disebut-sebut sebagai arsitek yang merancang bangunan masjid tersebut. Bahkan menurut sejumlah sumber disebutkan, pendiri masjid itu adalah orang Tionghoa. Konon pendirinya adalah Tan Nio, seorang perempuan kaya yang menyumbangkan dana untuk pembangunan masjid tersebut.