Beberapa waktu lalu, di sejumlah akun media sosial anggota Gerakan Pramuka, beredar pembahasan dengan tema “Pramuka dan Komunisme”. Bagaimana gerakan pendidikan kepanduan nasional nyaris berubah menjadi semacam gerakan pionir, organisasi pemuda di negara komunis seperti di Jerman Timur pada masa lalu atau pun Kosmomol, organisasi pemuda komunis di Uni Sovyet.
Ketika pada awal 1960-an Presiden Soekarno meminta hampir 60 organisasi kepanduan di Indonesia untuk disatukan dalam satu wadah, yang kemudian diberi nama Pramuka atau lengkapnya Gerakan Pramuka, nyaris saja ada pejabat-pejabat pemerintahan golongan “kiri” yang mencoba menjadikan Gerakan Pramuka seperti gerakan pemuda di negara-negara komunis.
Saat itu, situasi politik di Indonesia memang sedang condong ke “kiri”, dengan upaya membentuk poros Indonesia-Tiongkok-Uni Sovyet. Hal itu segera terlihat ketika Presiden Soekarno memerintahkan penggabungan semua organisasi kepanduan dalam satu wadah saja, dibentuk panitia yang terdiri dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prof. Dr. Prijono, Achmadi, Moeljadi Djojomartono, dan Dr. Azis Saleh.
Di sinilah, Prijono dan Achmadi yang cenderung beraliran “kiri” tanpa sepengetahuan anggota panitia lainnya menyiapkan Keputusan Presiden (Keppres), yang bahkan telah ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Untunglah, ada Mutahar. Dia mengetahui adanya Keppres Nomor 109 Tahun 1961 tertanggal 31 Maret 1961 tentang pembentukan Gerakan Pramuka yang isinya mengarah mirip dengan gerakan pemuda komunis.
Mutahar segera melapor kepada istri Azis Saleh, yang kemudian segera mengabarkan kepada Dr. Azis Saleh yang sedang ada di Surabaya. Bersama Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Keppres itu berhasil “diendapkan” dengan tidak diumumkan pada Berita Negara. Segera diganti dengan Keppres baru, dengan Nomor 238 Tahun 1961 tertanggal 20 Mei 1961 yang menyebutkan pembentukan Gerakan Pramuka antara lain karena, “bahwa anak-anak dan pemuda Indonesia perlu dididik untuk menjadi manusia dan warganegara Republik Indonesia yang berkepribadian dan berwatak luhur yang cerdas, cakap, tangkas, terampil dan rajin, yang sehat jasmaniah dan rokhaniah, yang ber-Pancasila dan setia patuh kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Jadi jelas, tanpa mengecilkan peran tokoh-tokoh lainnya, Gerakan Pramuka berutang budi pula pada H Mutahar, atau lengkapnya Husein Mutahar, yang juga akrab dipanggil Kak Mut. Beberapa waktu lalu, saya pernah memuat tulisan berjudul “Mengenang Mutahar, Mengenang Kecintaan Pada Merah Putih” di Kompasiana, yang kemudian oleh Pengelola Kompasiana judulnya diubah menjadi “H Mutahar, Bapak Paskibraka yang Dititipi Bendera Merah Putih oleh Bung Karno” dan dijadikan headline (lengkapnya baca di sini).
Di dalam tulisan tersebut, selain menulis riwayat Kak Mut menyelamatkan Bendera Pusaka, juga sedikit ulasan tentang jiwa seni beliau yang diwujudkan dengan menciptakan sejumlah lagu yang kini menjadi bagian dari lagu-lagu wajib nasional. Kak Mut juga adalah pencipta lagu Hymne Satya Darma Pramuka yang menjadi lagu wajib dalam acara-acara kepramukaan di Indonesia. Setiap pembukaan acara kepramukaan, selalu diperdengarkan dan dinyanyikan lagu ini.
“Gerak Pramuka”
Bagaimana dengan lagu mars-nya? Biasanya, di suatu organisasi atau instansi, ada lagu hymne dan ada juga mars. Kalau hymne atau disebut juga gita puja, biasanya berirama agak lambat dan berisi puji-pujian, maka mars berirama lebih cepat, menggebu, penuh semangat. Di lingkungan Gerakan Pramuka saat ini, tidak banyak yang tahu bahwa Kak Mut bukan hanya mencipta hymne, tetapi juga mars Pramuka.
Mars Pramuka tersebut berjudul Gerak Pramuka. Sampai 1990-an, mars Gerak Pramuka tersebut masih sering dinyanyikan dengan penuh semangat oleh para anggota Gerakan Pramuka. Setelah cukup lama terlupakan, lagu itu kembali diperdengarkan pada rangkaian peringatan Hari Pramuka ke-40 pada 2001 atau lebih dari 15 tahun lalu.
Saat itu, lagu mars Gerak Pramuka sempat dinyanyikan dalam lomba paduan suara di Auditorium Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka di Jalan Medan Merdeka Timur Nomor 6, Jakarta Pusat, pada 11-12 Agustus 2001. Para pengunjung yang menyaksikan lomba paduan suara itu, ikut menyanyikan syair lagu tersebut dengan penuh semangat.
Sayangnya, setelah itu lagu tersebut kembali nyaris dilupakan orang. Hanya ada beberapa yang masih ingat dan menyanyikannya kembali. Padahal liriknya sungguh menyemangati orang yang menyanyikan dan mendengarkannya, “Wahai Pramuka, gerak ke muka, majulah membina Indonesia, majulah maju teruslah ke Indonesia Raya, ....”.