Bila disebut nama aslinya, Widji Widodo, mungkin tak banyak tahu. Tapi, masyarakat luas khususnya mereka yang menyukai puisi sekaligus mengamati proses lahirnya Reformasi 1998, hampir dipastikan tak ada yang tak mengenal nama Wiji Thukul. Ya, dialah “penyair Reformasi” yang hilang tak tentu rimbanya pada peristiwa Reformasi 1998 yang mengantarkan turunnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya setelah 32 tahun.
Itulah sebabnya ketika Pusat Pengembangan Film dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan acara nonton bareng film yang berkisah tentang Wiji Thukul di bioskop Plaza Senayan XXI, Jakarta Selatan, cukup banyak yang berminat menghadirinya. Walaupun pemutaran film itu dilakukan pada hari kerja dan saat masih cukup banyak warga Jakarta dan sekitarnya yang masih bekerja atau melaksanakan aktivitas lainnya.
Pemutaran film Istirahatlah Kata-katayang diadakan di Plaza Senayan pada Selasa, 24 Januari 2017, cukup banyak dihadiri penonton. Mulai dari kaum muda sampai mereka yang telah dewasa. Semuanya tekun menyaksikan film berdurasi hampir 100 menit yang mulai ditayangkan di bioskop-bioskop mulai 19 Januari 2017 itu.
Istirahatlah Kata-kata juga disambut banyak penonton Indonesia di berbagai daerah, bahkan kabarnya ada sejumlah bioskop yang terpaksa menambah layar untuk menayangkannya. Terutama untuk memenuhi hasrat kaum muda yang ingin menyaksikan film tersebut. Bisa jadi karena Wiji Thukul dan puisi-puisinya lekat dengan revolusi, demonstrasi, membela kaum lemah, menjadi daya tarik tersendiri.
Tapi jangan harapkan adegan-adegan demonstrasi, apalagi tayangan kolosal saat unjuk rasa dengan beribu-ribu orang. Film ini justru jauh dari semua itu. Film ini hanya menceritakan keseharian Wiji Thukul yang terpaksa bersembunyi, lari dari kota kelahirannya di Solo, Jawa Tengah, sampai ke Kalimantan Barat, di perbatasan antara Republik Indonesia dengan Malaysia.
Film ini juga menceritakan pergulatan istrinya, Sipon, dan kedua anaknya, Wani dan Fajar. Ketika rumah mereka didatangi aparat dan menyita buku serta dokumen-dokumen milik Wiji Thukul, dan saat petugas intelijen terus-menerus mengawasi rumah mereka
Selain ceritanya yang memikat, tayangan sinematografinya juga cukup apik. Apalagi tim produksi berhasil menampilkan properti yang benar-benar menampilkan kesederhanaan dan produk-produk “tempo doele”, seperti radio, televisi, dan komputer lama, yang sekarang pasti sudah tak digunakan lagi. Bahkan sampai kursi reyot yang diikat-ikat dengan tali rafia, dan seprai tempat tidur lusuh, ditampilan dengan baik.
Bisa dibayangkan, ketika seorang penyair terusir dari komunitas dan keluarganya, maka menulis dan mendeklamasikan puisinya, adalah hiburan yang tersisa dan dapat dilakukan. Sayangnya, bisa jadi karena proses penyuntingan, maka ada sebagian kisahnya yang terasa agak melompat-lompat. Dan untuk menghubungkan, maka tak lain terpaksa harus dengan menggunakan kata-kata, lewat narasi baik yang diucapkan maupun dengan teks kata-kata pada layar film.
Ketika membuka acara nonton bareng itu, baik Yulia Evina Bhara, maupun produser dan sekaligus sutradara, Yosep Anggi Noen, mengatakan bahwa film itu dibuat untuk mengingatkan masyarakat luas, bahwa kebebasan yang kita peroleh sekarang – yang jauh lebih bebas dalam berpendapat dibandingkan saat Orde Baru sebelum Reformasi 1998 – tidak didapat dengan mudah. Perlu perjuangan, dan salah satu pejuangnya adalah Wiji Thukul yang hilang dan diduga dihilangkan dengan sengaja oleh aparat keamanan di masa-masa akhir Orde Baru.
Meski judul film ini adalah Istirahatlah Kata-kata yang diambil dari salah satu puisi Wiji Thukul, namun bagi banyak orang yang lebih diingat justru puisinya berjudul “Peringatan”. Bagian akhir puisi tersebut sungguh bermakna bagi banyak pejuang Reformasi 1998:
“... Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!”.
Secara keseluruhan, inilah penilaian saya dari 1 yang paling jelek sampai 5 yang paling bagus: