Lihat ke Halaman Asli

Berty Sinaulan

TERVERIFIKASI

Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Selamat Jalan, Pak Bagyo

Diperbarui: 7 Desember 2016   10:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bapak Subagyo Pr. dalam foto dari tahun 2009, yang diambil dari blog ROSO DARAS. (rosodaras.wordpress.com)

Satu lagi tokoh pers Indonesia mendahului kita. Beliau adalah Subagyo Priyosudjono yang lebih dikenal dengan nama yang tercantum dalam jajaran redaksi sebagai Subagyo Pr. Di antara rekan-rekan wartawan, termasuk saya yang masih junior ketika beliau sudah berkiprah sebagai wartawan senior dan menjabat Pemimpin Redaksi Harian Umum Sinar Harapan, memanggilnya dengan Pak Bagyo.

Dilahirkan di Mojowarno, Jombang, Jawa Timur, pada 30 April 1930, Pak Bagyo tutup usia pada Selasa, 6 Desember 2016 di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Beliau sempat dirawat di rumah sakit itu karena penyakit dan usia tuanya. Pernikahannya dengan istri tercinta, Ibu Ami Purnomowati yang pernah mengajar di sekolah taman kanak-kanak, menghasilkan empat puteri, dan sekarang ditambah dengan enam orang cucu.

Setelah lulus sekolah menengah, Pak Bagyo datang ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Teologia (STT). Hal itu dilakukannya karena ia ingin melanjutkan pekerjaan ayahnya sebagai seorang pendeta. Namun rupanya ketertarikannya pada dunia pers, membuat Pak Bagyo hanya bertahan dua tahun di STT.

Pak Bagyo kemudian bekerja sebagai karyawan di Radio Republik Indonesia (RRI). Ketika Sinar Harapan didirikan pada 27 April 1961 sebagai harian sore nasional di Jakarta, Pak Bagyo ikut bergabung. Hanya berselang beberapa bulan, Pak Bagyo diangkat menjadi anggota dewan redaksi. Bisa dibilang Pak Bagyo termasuk orang yang ikut membesarkan Sinar Harapan.

Tiga tahun kemudian, tepatnya 30 Mei 1964, Pak Bagyo diangkat menjadi Wakil II Pemimpin Redaksi. Selanjutnya, kariernya meningkat dan pada 1969, Pak Bagyo dipercaya memimpin suratkabar sore itu sebagai penanggung jawab dan sekaligus Pemimpin Redaksi. Suatu jabatan yang dipegangnya terus-menerus sampai akhirnya Sinar Harapan harus “menyerah” dibreidel Pemerintah Orde Baru pada Oktober 1986.

Dicabut izinnya

Departemen Penerangan RI melalui Menteri Harmoko mencabut izin terbit surat kabar sore itu, karena akumulasi kritik-kritik keras yang disampaikan  dalam berbagai berita harian tersebut. Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, Sinar Harapan memang merupakan salah satu surat kabar terpandang di Indonesia. Bersama Harian Umum Kompas yang terbit setiap pagi, maka masyarakat pembaca surat kabar disuguhi kelengkapan berita itu dengan hadirnya Sinar Harapan di sore hari.

Kabarnya, Presiden Soeharto marah dengan isi berita Sinar Harapan, sehingga izin terbit pun dicabut. Pihak PT Sinar Kasih yang menerbitkan Sinar Harapan mencoba me-lobby Pemerintah. Bahkan konon kabarnya, Radius Prawiro yang merupakan salah satu menteri pada masa Orde Baru ikut membantu upaya untuk menerbitkan kembali Sinar Harapan. Tetapi Harmoko tetap pada keputusannya. Izin terbit Sinar Harapan tidak diberikan kembali. “Als is voorbij,” kata Harmoko dalam Bahasa Belanda, yang artinya kira-kira “semua sudah berlalu”.

Satu-satunya cara agar wartawan dan karyawan PT Sinar Kasih dapat bekerja kembali adalah dengan menerbitkan harian baru, dengan nama surat kabar yang baru, dan perusahaan yang mengelolanya juga harus baru. Satu lagi, pimpinan-pimpinan lama harian itu tidak boleh menjabat lagi sebagai pimpinan. Begitulah persyaratan yang diberikan pemerintah kala itu.

Pak Bagyo bersama Pak HG Rorimpandey yang menjadi pemimpin umum harian itu, menunjukkan jiwa besar mereka. Bagi mereka, lebih baik mereka mundur, tetapi wartawan dan karyawan keseluruhan selamat. Maka, akhirnya wartawan dan karyawan PT Sinar Kasih dipindahkan menjadi karyawan PT Media Interaksi Utama, dan surat kabar sore baru dapat terbit lagi, dengan nama Suara Pembaruan.

Bapak Subagyo Pr. sebagai Pemimpin Redaksi Tabloid

Setelah tak lagi menjadi Pemimpin Redaksi Sinar Harapan, Pak Bagyo dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi Mutiara. Ini adalah penerbitan yang menjadi saudara Sinar Harapan, berupa tabloid mingguan dan kemudian kalau tak salah menjadi dwimingguan. Tetapi krisis ekonomi yang berubah menjadi krisis multi dimensi pada 1998, menghentikan juga langkah Mutiara. Kali ini bukan karean dibreidel pemerintah, tetapi karena kondisi keuangan yang tak memungkinkan tabloid tersebut untuk terus berlanjut penerbitannya.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline