Lihat ke Halaman Asli

Berty Sinaulan

TERVERIFIKASI

Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Nasib Ilmu dan Profesi Arkeologi Sebagai "Dunia yang Sepi"

Diperbarui: 4 November 2016   19:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi arkeologi. Vidyaloka

Beberapa hari lalu, seorang teman sesama Pengurus Pusat Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), mengirim pesan WA kepada saya, “Bert, lu bikin rapat hari Jumat, 4 November. Mau rapat apa mau demo?”. Karena tahu pertanyaannya hanya becanda, saya pun menjawab, “Kita rapat dulu, abis gitu kita demo masak eh demo makan aja”.

Begitulah, Jumat ini kami tetap mengadakan rapat di salah satu ruangan di Gedung E Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bilangan Senayan, Jakarta. Lagi-lagi, sebelum dimulai rapatnya, “drama” imbas demo kembali terjadi. Beberapa teman terlambat hadir, karena susah mencari angkutan umum. Ada yang mau naik bus TransJakarta dari arah Dukuh Atas ke Senayan, ternyata sejak Harmoni sampai depan Bundaran HI, rute sudah ditutup. Jadi dia akhirnya memilih naik taksi.

Ini pun bukan soal mudah. Banyak taksi kabarnya yang memilih menghindari Jalan Thamrin-Sudirman. Itulah sebabnya juga, seorang teman yang rumahnya di bilangan Setiabudi, setelah berjalan kaki kea rah jalan besar untuk mencegat taksi namun tak ada satu pun, akhirnya pulang kembali ke rumah. Kali ini dia terpaksa mengemudikan mobilnya sendiri.

Tapi apa pun, rapat IAAI tetap berlangsung. Rapat dari suatu organisasi nasional profesi arkeologi yang mungkin belum begitu dikenal masyarakat luas. Walaupun IAAI telah ada sejak 1976, namun namanya bisa jadi kalah “beken” dibandingkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) atau Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Ini terjadi karena dari segi jumlah, anggota IAAI memang jauh lebih sedikit dibandingkan IDI atau IAI.

Dari segi profesi pun, arkeologi tak salah bila dikatakan sebagai “dunia sepi”, dibandingkan profesi dokter atau arsitek. Rekan Kompasianer, Djulianto Susantio, beberapa kali mengeluh. Tulisan-tulisannya tentang arkeologi di Kompasiana, bila yang membaca lebih dari 100 orang saja sudah terhitung cukup banyak pembacanya. Sementara kalau dia menulis topik lainnya, bisa dibaca lebih dari 200-300 bahkan 1000 kali. “Kalau topiknya tentang politik atau judulnya yang sensasional, baru yang baca banyak,” tuturnya.

Itu terbukti dari tulisannya di Kompasiana berjudul “Mencari Arkeolog yang Mau Beramal Buku”. Diunggah pada 2 November 2016 pukul 19:57:40, sampai 4 November 2016 pukul 16:11:30, tulisan itu hanya dibaca sebanyak 37 kali, tanpa komentar, dan tanpa nilai sedikit pun. Oleh Admin Kompasiana pun hanya dianggap tulisan biasa, tidak dijadikan “Pilihan” apalagi “Headline”.

Djulianto ini memang “orang gila” pada arkeologi. Dia sengaja mendatangi instansi pemerintah atau swasta yang menerbitkan buku-buku, memintanya, kemudian menyumbangkan kembali buku-buku yang diterimanya melalui kuis-kuis ringan dengan pertanyaan seputar sejarah, purbakala, dan museum. Ongkos pengepakan dan kirim buku-buku itu ditanggungnya sendiri. 

Sungguh, dedikasi yang cukup hebat. Padahal, dia tidak bekerja di instansi yang terkait dengan arkeologi. Djulianto hanyalah seorang sarjana arkeologi UI yang menghidupi dirinya dengan menulis di berbagai tempat.

Itu pun kerap luput dari perhatian. Penyebabnya sekali lagi, arkeologi adalah “dunia sepi” yang tidak sexy – sengaja saya tulis seperti dan bukannya “seksi” karena bisa bermakna lain – dan hanya dianggap berkutat dengan masa lalu saja. Arkeologi atau secara mudah dijelaskan sebagai ilmu purbakala, memang suatu studi yang mempelajari masa lalu manusia sejak dari zaman prasejarah.

Istilah arkeologi sendiri berasal dari Bahasa Inggris “archaeology”. Suatu kata yang berasal dari dua kata dalam Bahasa Yunani, “archaeo” yang berarti kuno dan “logos” yang berarti ilmu. Jadi, arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan manusia masa lalu melalui kajian sistematis atas data tinggalan benda berupa artefak (benda-benda buatan manusia), ekofak (benda atau temuan alam dari lingkungan di dekat artefak atau situs), dan situs arkeologi (lokasi atau kawasan di mana ditemukan artefak dan ekofak),  yang masih tersisa.

Walaupun hanya mempelajari masa lalu melalui benda-benda zaman dulu yang masih tersisa, namun arkeologi menjadi penting. Bukankah kita juga sudah kenal ungkapan, “belajarlah dari kesalahan masa lalu untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, sebaliknya belajarlah dari hal positif masa lalu, agar dapat dipertahankan dan dikembangkan lebih baik lagi”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline