Bila Facebook tidak mengunggahnya, mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa hari ini adalah Hari Senyum Sedunia (World Smile Day). Peringatan untuk menyebarluaskan senyum dan aksi sosial setiap individu yang dimulai sejak 1999 dan dirayakan setiap hari Jumat pertama di bulan Oktober.
Adalah Harvey Ball, desainer grafis yang menciptakan “Smiley Face” yang sekarang tersebar luas dalam bentuk “emoticon” di media sosial, sebagai penggagas peringatan Hari Senyum Sedunia itu. Harvey Ball menciptakan wajah tersenyum yang mendunia itu pada 1963, dan memulai peringatan Hari Senyum Sedunia sejak 1999.
Setelah Harvey Ball meninggal dunia pada 2001, dibentuklah yayasan yang diberi nama Harvey Ball World Smile Foundation. Yayasan itu meneruskan ide penyelenggaran Hari Senyum Sedunia sampai saat ini. Pada 2016 ini, hari Jumat pertama di bulan Oktober adalah pada 7 Oktober 2016, dan itulah yang dijadikan Hari Senyum Sedunia pada tahun ini.
Ada yang menarik dari peringatan Hari Senyum Sedunia tersebut. Yayasan penyelenggara acara itu pernah menampilkan logo dengan tulisan besar “Do an act of kindness. Help one person smile”. Dan tahukah bahwa untuk melakukan perbuatan baik membuat orang lain tersenyum, juga bisa dimulai dengan kita sendiri yang tersenyum tulus saat bertemu dengan orang lain?
Saya pernah mengalaminya sendiri. Sebagai seorang anggota Gerakan Pramuka yang merupakan bagian dari persaudaraan kepanduan sedunia, seharusnya saya selalu berusaha mengikuti anjuran Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell, yaitu “A Scout smiles and whistles under all circumstances” (seorang Pandu/Pramuka selalu tersenyum dan riang dalam setiap keadaan). Namun saat tubuh lelah dan pekerjaan atau tanggung jawab menumpuk, sebagaimana manusia biasa, terkadang wajah saya pun agak cemberut.
Suatu ketika di sebuah pusat makan di Jakarta, seorang anak menumpahkan kue yang sedang dimakannya. Sang ibu yang menemani anak itu tampaknya mencoba mendidik kedisiplinan. “Angkat kuenya, buang di tempat sampah,” ujar si ibu dengan suara agak keras.
Terus terang, saya yang sedang menikmati semangkuk bakwan Malang di tempat itu, agak terkejut. Bukan apa-apa, biasanya kalau ada yang menumpahkan makanan di tempat seperti itu dibiarkan saja. Lagi pula di situ ada petugas pembersih yang sudah dibayar. Jarang pula ada orangtua seperti ibu tadi yang menyuruh anaknya mengangkat kue yang ditumpahkan dan membuangnya ke tempat sampah.
Ini kejadian yang aneh. Benar, saya menyebutnya aneh, karena sudah tak biasa lagi melihatnya di Jakarta maupun tempat-tempat lain di Indonesia situasi seperti itu. Itulah sebabnya, saya menghentikan makan saya dan memperhatikan dengan seksama si ibu dan anaknya yang duduk sekitar lima meter dari tempat saya.
Si anak mungkin karena takut, mencoba mengikuti perintah ibunya. Anak lelaki yang saya perkirakan berusia 5 atau 6 tahun itu, mengambil kuenya yang terjatuh di lantai pusat makan itu, dan mencoba membuangnya ke tempat sampah. Tetapi dia lalu kebingungan, kepala menoleh ke kiri dan kanan, mencoba mencari tempat sampah.
Spontan saya bangkit dari duduk saya, mendekati si anak lalu dengan baik-baik meminta kuenya dan membuangnya di tempat sampah terdekat. Si anak tersenyum, si ibu pun tersenyum. Dan walaupun tadinya saya merasa lelah, tiba-tiba tubuh terasa segar kembali mendapatkan senyuman dari anak dan ibu tadi.
Keduanya lalu meninggalkan meja, saya kembali menghabiskan makanan saya dan kemudian juga beranjak melanjutkan pekerjaan. Entah kenapa, pekerjaan yang tadinya tertunda karena tubuh lelah, sekarang dapat cepat saya selesaikan. Bisa juga karena tubuh telah kembali mempunyai energi setelah makan, tapi tidak kurang pula saya menjadi bersemangat karena mendapat senyum terima kasih dari anak dan ibu tadi.