Lihat ke Halaman Asli

Berty Sinaulan

TERVERIFIKASI

Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Perpustakaan, Masihkah Jadi Impian Pemilik Rumah?

Diperbarui: 12 Oktober 2015   23:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Deretan buku yang terdapat di Perpustakaan Bustanil Arifin. (Foto: Berthold DHS)"][/caption] Dulu, paling tidak sampai akhir 1990-an, masih banyak pemilik rumah atau orang yang ingin memiliki rumah, memimpikan mempunyai satu sudut di dalam rumahnya yang menjadi perpustakaan pribadi.

Tak heran juga, kalau dulu foto-foto wisudawan sering menggunakan latar belakang berupa kain cetak yang bergambar deretan rak penuh berisi buku. Entah sekarang. Berkembangnya jaringan internet, bisa jadi menjadi salah satu penyebab, orang tak lagi memimpikan mempunyai perpustakaan di sudut rumah atau di salah satu ruang rumahnya. Hampir tak ada lagi yang ingin memenuhi rumahnya dengan rak-rak buku berisi beragam jenis buku, seperti layaknya di perpustakaan umum.

Walaupun juga – entah kenapa – buku-buku tebal sejenis coffee table book dengan sampul keras (hardcover) dan lembaran-lembaran buku dari kertas agak tebal penuh berisi foto, masih juga laku terjual. Apakah ini karena tren-nya orang lebih senang melihat foto dan gambar daripada membaca “rentetan” tulisan yang memenuhi seluruh halaman buku, atau bisa juga seperti yang dikatakan seorang teman, “biar gengsi kalau di rumah ada buku-buku tebal (yang harganya memang tak murah)”.

Seiring dengan semakin cepatnya jaringan internet, perpustakaan dalam bentuk fisik memang hampir tak perlu lagi. Orang cukup berselancar di dunia maya, untuk mengetahui banyak hal. Termasuk membaca buku-buku yang sudah cukup banyak di-digitalisasi.

Tapi itu bukan berarti peminat buku menjadi berkurang. Buktinya toko-toko buku masih rajin didatangi pembeli, demikian jumlah buku yang dicetak setiap bulannya, masih terus ada. Persoalannya, bisa jadi para pembeli buku sekadar untuk membaca satu-dua kali saja buku yang dibelinya. Selanjutnya, buku itu dipindahtangankan atau dijual di tukang loak, tanpa merasa perlu menyimpannya di dalam rak buku.

Entahlah sampai kapan buku dalam bentuk fisik masih terus bertahan. E-book yang sudah mulai digalakkan, bisa jadi merupakan salah satu “aksi” untuk “memunahkan” buku-buku yang dicetak secara fisik. Namun setidaknya sampai beberapa generasi, sementara anak-anak sekolah masih cukup sering memegang buku secara utuh, pasti ada yang berbeda dengan sekadar memanfaatkan komputer.

Perasaan dan pengalaman menyentuh buku secara langsung, membuka lembar demi lembar, memberi tanda pada bagian buku yang dianggap penting, tampaknya menjadi alasan mengapa orang masih tetap menginginkan buku secara fisik. Selama perasaan itu, selama itu pula perpustakaan berupa rak-rak berisi buku, agaknya bakal tetap ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline