Salah satu kegiatan rutin saya sejak menetap di kawasan Bintaro, adalah berbelanja di Pasar Modern Bintaro Jaya (PMBJ). Bisa sekali seminggu, terkadang dua kali seminggu. Tapi bila sedang sibuk, bisa juga 10 hari sekali atau dua minggu sekali.
Senin pagi, 8 Juni 2015, saya kembali berkunjung ke sana. Membeli ikan cue untuk campuran makanan kucing-kucing lokal yang sering bertandang ke rumah, jagung dan singkong yang sering saya nikmati untuk pengganti nasi, tahu, dan beberapa bahan makanan lainnya. Juga sekilogram telur ayam. Biasanya kami – saya dan istri – memang menyetok bahan makanan segar untuk beberapa hari sekaligus.
Kami memang senang berkunjung ke PMBJ. Selain tempatnya bersih, juga banyak kedai makanan dan minuman yang bisa dinikmati di tempat atau pun dibawa pulang.
Salah satu tempat favorit saya untuk menikmati sarapan adalah nasi uduk di “Dapur Betawi”. Namun karena ini Senin, sebagaimana biasanya, tempat makan itu tutup. Pasti untuk memberikan kesempatan kepada karyawannya untuk menikmati hari libur, karena pada hari Minggu kedai makanan itu tetap buka. Bahkan pada saat-saat akhir pekan, biasanya pengunjung yang datang ke “Dapur Betawi” jumlahnya jauh lebih banyak dari hari biasa.
Setiap akhir pekan, tempat itu selalu ramai. Pengunjung datang sekeluarga, ada juga kelompok yang selesai berolahraga di pagi hari, menyantap sarapan bersama di tempat itu. Sesuai namanya, makanan khas Betawi menjadi andalan utama. Bukan hanya makanan utama seperti nasi uduk dan lauknya serta soto Betawi, tetapi juga kue-kue khas warga Jakarta disajikan di situ.
Namun kali ini karena tutup, saya pun tak menyantap sarapan di sana. Pulang ke rumah, oleh pembantu dibuatkan dadar dengan potongan bawang merah di dalamnya. Saya menyantap dadar itu bersama dua potong tahu goreng. Cukuplah untuk sarapan, ditemani segelas air putih yang saya campur dengan perasan jeruk nipis.
Siangnya, saya mengikuti pertemuan dalam bentuk rapat bersama para ahli arkeologi yang tergabung dalam Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI). Uniknya, di situ saya kembali bertemu dengan pasar. Bukan dalam arti fisik nyata sebuah pasar, tetapi bentuk keprihatinan IAAI dengan terbakarnya Pasar Johar di Semarang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Pasar Johar dirancang oleh arsitek kenamaan pada masa itu, Thomas Karsten di tahun 1933, dan dikabarkan pernah menjadi pasar terbaik di Indonesia di zamannya. Pasar yang mempunyai nilai sejarah itu, tentu saja tak dapat dibiarkan begitu saja. Bukti sejarah penting itu harus tetap dipertahankan keberadaannya, jangan sampai warga Semarang khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya, kehilangan memori terhadap Pasar Johar yang juga merupakan salah satu khasanah budaya pasar di Indonesia.
Berbincang soal pasar, dalam pandangan pribadi saya, selain Pasar Johar, pasar-pasar tradisional lain yang masih bertahan sampai saat ini perlu tetap dilestarikan arsitektur bangunan aslinya. Semakin bertumbuhnya minat masyarakat terhadap dunia kuliner saat ini – buktinya antara lain dengan semakin banyak dan bervariasinya tayangan kuliner di berbagai stasiun televisi serta laporan dan artikel tentang kuliner di media cetak dan media internet – maka pasar tradisional yang terpelihara baik, dapat pula dimanfaatkan sebagai salah satu destinasi wisata. Khususnya wisata kuliner, baik bagi wisatawan domestik dan tidak tertutup kemungkinan akan disukai pula wisatawan mancanegara.
Di luar itu, seperti telah dituliskan di atas, sebagai salah satu situs bersejarah, banyak hal yang dapat dipelajari dari pasar-pasar tradisional di Indonesia. Baik dari sisi arsitektural, sosial budaya, psikologi massa, dan banyak lagi
Lalu bagaimana dengan pasar modern seperti PMBJ? Sebenarnya hal ini tak perlu dipertentangkan, namun dapat menjadi suatu “kesatuan” yang saling melengkapi. Untuk masyarakat di kota metropolitan, keberadaan pasar modern mungkin sudah menjadi keharusan. Tetapi, pasar-pasar tradisional tetap harus dipertahankan pula keberadaannya.
Caranya antara lain, dengan menjaga dan merawat bangunan pasar dan kebersihan di dalamnya. Sekaligus dengan mengatur cara menyajikan dagangan, sehingga orang tertarik datang ke sana, merasa nyaman berbelanja, dan mendapatkan pengalaman yang menyenangkan ke pasar. Sehingga nanti, dia akan mengajak keluarga atau kerabatnya, “Ayo ke pasar”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H