Sebuah Cerita Pinggiran di Balik Status KTP Belum Menikah
Ada yang menarik di KTP, status 'belum menikah', meskipun orang yang bersangkutan sudah memutuskan tidak akan menikah, statusnya tetap 'belum menikah'.
Ada apa di balik pemikiran status 'belum menikah' ini? Di dalam banyak pandangan masyarakat, menikah ada sebuah keniscayaan.
Usia yang sudah dianggap mumpuni untuk menikah, seharusnya ya menikah. Usianya pun beragam. Di masyarakat tertentu, perempuan memasuki angka dua puluh sudah 'seharusnya' menikah supaya tidak menjadi aib bagi keluarga. Ada pandangan janda cerai (hidup) lebih berharga dari perempuan yang tidak menikah (perawan tua).
Para perawan tua ini, yang di KTP tertulis status belum menikah meski ia sudah memutuskan tidak menikah, menjadi cerita pinggiran, sebagaimana mereka acap kali terpinggirkan hanya karena belum atau tidak menikah.
Seorang asisten rumah tangga menceritakan kisahnya menikah di usia 18 tahun dan sekitar 3 bulan kemudian bercerai. Pernikahan ini dilakoninya demi untuk menghentikan bisik-bisik orang-orang sekampung dan menutup aib orang tuanya karena memiliki anak perempuan yang belum menikah di usianya yang kedelapan belas.
Di antara teman-teman perempuan seusianya, dia terhitung sebagai perempuan yang terlambat menikah. Anehnya, ketika dia bercerai setelah 3 bulan pernikahannya, orangtuanya merasa lebih terhormat dibandingkan memiliki anak perempuan yang tidak menikah.
Pandangan masyarakat yang demikian selalu mendorong perempuan ke pinggiran. Sebelum status mereka menikah, mereka seolah berada di pinggiran kehidupan dan bukan tokoh kehidupan.
Laki-laki melajang di usia yang demikian masih aman dengan status belum menikahnya. Perempuan dikejar dengan waktu berbanding lurus dengan pandangan masyarakat bahwa perempuan adalah alat untuk melanjutkan nama kaum Adam dengan melahirkan keturunan.
Tidak heran di masyarakat perkotaan dengan tingkat pendidikan yang sudah ada di rata-rata strata satu pun, praktik meminggirkan perempuan dengan status belum menikah pun tetap terjadi. Hanya soal beda angka. Bisik-bisik itu mungkin mulai makin gencar ketika memasuki usia tiga puluhan.
Ada kalanya, atas nama pandangan agama, mereka semakin terdorong ke pinggiran: perempuan yang belum menikah; dipercakapkan dengan bisik-bisik di balik pundak atau dengan percakapan lembut untuk menjaga perasaan. Tidak heran, ada saja perempuan menjadi takut tidak menikah meski tidak membutuhkan pernikahan.