Lihat ke Halaman Asli

Berty Kristina Napitupulu

Berjalan bersama dengan Tuhan

Perempuan

Diperbarui: 24 September 2021   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perempuan, membaca kata ini apa yang terpikirkan? Wanita cantik? Seorang yang bersih, lembut, rajin? Atau seorang istri; seorang Ibu yang melahirkan, menyusui, memasak, mencuci pakaian, piring kotor dan berbagai kotoran lainnya? 

Jaman mungkin berubah; dari generasi ke generasi, kelihatannya budaya masih sangat mempengaruhi cara pandang dan perlakuan masyarakat terhadap perempuan. 

Tapi Salomo raja yang paling bijaksana disepanjang sejarah umat manusia sudah mengatakan bahwa di bawah matahari tidak ada sesuatu yang baru. (Pengkotbah 1:9). Pandangan maupun perlakuan terhadap perempuan pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi. 

Contohnya, pada jaman dengan kemajuan teknologi yang makin tidak terbendung ini pun, masih mudah menemukan orang tua yang berpandangan anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya hanya akan ikut suami. 

Atau kalimat yang lebih merendahkan dan membatasi aktualisasi iman anak perempuan dengan mengatakan,'Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya ke dapur juga!" Lebih miris lagi, ketika pernyataan itu justru terucap dari  mulut sesama perempuan. Sebuah ironi di mana perempuan sendiri menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki. 

Ucapan-ucapan senada yang  membedakan laki-laki dan perempuan secara tidak proporsional itu mudah ditemui. Bukan hanya di rumah atau di masyarakat. Bahkan di gereja atau di dunia pendidikan formal, bisa ditemukan. 

Seperti kalimat, " Anak perempuan kok jorok sih? Nanti tidak laku lho." (Seolah perempuan barang dagangan atau pajangan yang diperjualbelikan. Atau kalimat, "Anak perempuan kok malas/kasar/pemarah/ngak sabaran...!" seolah-olah kalau anak laki-laki wajar kalau jorok, malas, kasar, pemarah atau tidak sabaran. 

Budaya Patriarki yang sangat mengharapkan anak laki-laki untuk meneruskan garis keluarga, sering kali perempuan menjadi korban. Istri berulang kali harus mengandung dan melahirkan demi untuk  melahirkan anak laki-laki. 

Tidak jarang terpaksa menyerahkan  bayi perempuan ketiga, keempat, kelima dan seterusnya karena sebenarnya memang tidak sanggup lagi membiayai anak lebih dari dua. Tuntutan budaya patriarki,  membuat perempuan dalam posisi sulit. 

Sebenarnya tidak ada salahnya menjadi perempuan cantik, sabar maupun lemah lembut; apa lagi kalau menjadi perempuan yang punya kecakapan memasak, menata rumah, menjahit, menyulam dan sebagainya karena itu  merupakan keterampilan kehidupan. Pandangan yang membuat seolah-olah laki-laki tidak perlu demikianlah yang salah. 

Padahal, bukankah Tuhan menginginkan umat-Nya, baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki karakter sabar, lemah lembut, rajin dan sebagainya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline