Oleh: Bert Toar Polii
Perkembangan olahraga bridge di kalangan milenial di Asia telah berada di jalur yang benar. Saat ini sudah banyak pemain muda yang mau menggeluti olahraga bridge yang dulu dikenal hanya olahraga orang tua-tua.
Semua ini bisa terjadi karena ada penemuan cara mengajar bridge yang lebih mudah dan menarik, yaitu mini bridge.
Pengalaman menunjukan saat belum ada mini bridge sangat sulit mengajak orang main bridge. Kenapa? Karena baru diawal sudah dihadapkan dengan mempelajari sistim penawaran yang rumit sehingga banyak yang lalu mundur.
Berbeda dengan mini bridge dimana sistim penawaran yang rumit ditunda dulu pengajarannya. Peminat dibuat tertarik dulu dengan hanya mengajarkan cara bermain dan sistim penawaran yang sederhana dan langsung bisa bermain. Bahkan bisa langsung bertanding sehingga setiap latihan nanti ada pemenangnya.
Ternyata cara ini yang membuat penggemar bridge semakin banyak. Ketika mereka sudah tertarik maka akan sangat mudah untuk diajak beralih ke permainan bridge yang sesungguhnya.
Di Asia, Indonesia adalah pelopor untuk mengenalkan olahraga bridge di kalangan milenial. Diawali dengan Bridge Masuk Kampus kemudian tahun 2004 beralih ke program Bridge Masuk Sekolah dan sukses.
Sayangnya kita terlalu konsentrasi pada pemasalan atau kuantitas melupakan soal kualitas.
Akibatnya seperti yang kita rasakan saat ini, pemain junior kita banyak tapi dari segi kemampuan kita ketinggalan dari negara-negara Asia lain yang baru menyusul, seperti China, India, Chinesse Taipei dan tetangga kita negeri kecil Singapura.
Sebagai contoh mari kita lihat hasil yang dicapai di The 18th World Youth Team Championship yang berlangsung di Veldhoven Belanda pada 31 Juli-7 Agustus 2023.